ISLAM DAN DEMOKRATISASI:
Studi atas Dasar Ideal, Pemikiran dan Realitas-Empirik Islam
Oleh: M. Alfatih Suryadilaga
I. PENDAHULUAN
Respon umat Islam dan dunia Islam terhadap berbagai isu-isu penting yang berkembang di dunia modern sangat beragam.
[1] Setidaknya, dalam wacana pemikiran Islam terdapat tiga
grand pemikiran, menerima, menolak dan mengakomodasi.
[2]
Namun, wacana yang demikian di dalam realitas-empirik menunjukkan suatu
yang berbeda. Bagi mereka yang dianggap menerapkan ajaran Islam dalam
kehidupan keseharian cenderung tidak merespon isu-isu tersebut dengan
bijaksana.
[3] Sementara, di sisi lain terdapat suatu fenomena sebaliknya.
Demokratisasi
[4]
sebagai salah satu wacana yang hadir dalam konteks modern telah
menjadi suatu yang melebihi dari jati dirinya yang asli. Seolah-olah
demokratisasi merupakan sesuatu yang universal.
[5] Ia lahir tidak kedap dari nuansa sosio-historis.
[6]
Namun, keberadaannya sering diimpor dan dipaksakan untuk
diaktualisasikan dan diterapkan di berbagai negara-negara lain yang
memiliki tradisi dan budaya yang berbeda dengan tempat di mana lahirnya
demokrasi. Dengan demikian, habitat yang berbeda memunculkan keragaman
dalam mersespon isu demokrasi.
Makalah ini akan mengkaji masalah Islam dan demokratisasi, dua sisi
yang berbeda. Bagaimana keberadan demokrasi dengan Islam? dan bagaimana
hambatan dan tantangan aplikasi demokratisasi di beberapa dunia Islam.
Pembahasan yang dilakukan adalah pengertian demokratisasi, berbabagi
sisi Islam yang menjadi nafas demokrasi, asal-usul dan perkembangan
serta pengaruhnya dalam bidang kehidupan kenegaraan dalam konteks
kekinian, seperti kasus negara Pakistan sebagai wakil dunia Islam
-walaupun dalam hal ini tidak dapat dipresentasikan secara general
sebagai negara Islam- untuk mempermudah melihat aplikasi demokrasi
secara nyata dan dalam kasus-kasus tertentu. Kajian tersebut dilakukan
dalam bingkai dasar ideal, pemikiran dan realitas empirik yang terjadi
di dunia Islam.
II. BERBAGAI PENGERTIAN DAN VARIANT TEORI-TEORI
Demokratisasi bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Eropa dan
Amerika. Mereka sudah lama mengenalnya. Nenek moyang mereka sudah
dengan sadar mengaplikasikan konsep baru dalam pemerintahan. Setidaknya
dapat dijumpai di masyakarat Athena, kota kecil di Yunani. Peristiwa
tersebut terjadi di masa pemimpinan Pericles.
[7] Namun, patut disayangkan kesempatan hanya diberikan kepada kaum Adam (laki-laki)
an sich. Kaum wanita, budak dan orang-orang asing dikesualikan. Demokrasi yang berjalan di Athena ini berjalan sampai 200 tahun.
[8]
Dari sejarah panjang inilah kemudian demokrasi berkembang dan sekarang
menjadi suatu yang universal dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia
ini.
Perkembangan demokrasi sejalan dengan perkembangan umat manusia dan
telah melahirkan berbagai macam tokoh dan pemikir yang handal. Pemikiran
dan aplikasi teoritis dalam kancah pemerintahan sudah lama terbukti dan
teruji secara baik dan mengesankan.
[9]
Walaupun demikian, dalam kapasitas tertentu lebel-label atau simbol
tersebut perlu dipertanyakan eksistensi dan aplikasinya dalam kehidupan
masyarakat dunia dalam skala makro maupun mikro.
Pengalaman-pengalaman yang beraneka ragam dan tidak berdimensi satu
membuat makna, ciri dan tinjauan-tinjauan yang berhubungan dengan
demokratisasi menjadi suatu yang beragam. Kenyataan ini juga didukung
oleh fenomena sosial dari ilmu politik yang memayungi kajian
demokratisasi dan yang berhubungan dengannya. Oleh karena itu, setiap
negara dan kawasan memilki banyak ragam dalam merespon demokratisasi
dalam kancah perpolitikan mereka. Ada negara yang sudah mampu dan mapan
dalam menerapkannya dan ada juga yang masih belajar dengan
tertatih-tatih tanpa membuahkan hasil yang memadai dan memberikan
perubahan yang cukup berarti.
Pemahaman tentang demokratisasi dapat dilakukan secara utuh jika
dapat dilakukan kajian yang mendalam tentang substansi dari
demokratisasi dan hal-hal lain yang mendukungnya. Pengalaman dan
aplikasi berbagai negara dapat dijadikan sebagai variant model
yang muncul mengiringi paket demokratisasi, yang dapat disebut sebagai
upaya kreatif masing-masing negara dalam merespon isu demokratisasi.
Upaya kreatif tersebut tidak dianggap sebagai sebuah reduksi dalam
memahami dan mencerna isu penting tersebut. Namun, aplikasi
demokratisasi akan dapat bermakna bagi negara-negara lain jika
disesuaikan dengan kondisi sosial-politik dan sosial-budaya masyarakat
setempat. Tentu, ada beberapa hal yang sesuai dengan kondisi tertentu
dari negara dan tidak cocok bagi negara lain.
Demokrasi tersusun dari dua kata “demos” berarti “people”dan “kratos” berarti
rule or authority” (bahasa Greek, Yunani); yang berarti pemerintahan oleh rakyat (
rule or authority by the people)
di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan secara
langsung maupun melalui perwakilan di bawah sistem pemilihan yang
bebas. Istilah tersebut menurut Abraham Lincoln didefenisikan sebagai
goverment of the people, by the people, for the people atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
[10]
Dari pengertian sederhana tersebut jelas bahwa demokrasi menginginkan
pemerintahan diselenggarakan secara terbuka dan rakyat diberi kesempatan
dalam memerintah.
Demokrasi dan kebebasan sering digunakan secara timbal balik. Namun
keduanya tidak sama atau berbeda. Demokrasi merupakan seperangkat
gagasan dan prinsip tentang kebebasan dan juga seperangkat praktek dan
prosedur tertentu melalui sejarah panjangnya yang berliku-liku. Oleh
karena itu, demokrasi sering diartikan sebagai sebuah pelembagaan
kebebasan.
Banyak pemikir yang brusaha memberikan pemaparan mengenai ciri-ciri
dari demokratisasi. Robert A. Dahl mengungkapkan bahwa sebuah rezim
dianggap demokratis jika memilki tiga ciri, (1) menyelenggarakan
pemilihan yang terbuka dan bebas, (2) mengembangkan pola politik yang
kompetitif dan (3) memberi perlindungan kebebasan masyarakat.
[11] Sedangkan, W. Ross Yates mengungkapkan enam ciri. Ciri demokratisasi adalah toleransi terhadap yang lain, perasaan
fairplay, optimisme terhadap hakekat manusia, persamaan kesempatan, orang yang terdidik, jaminan hidup, kebebasan dan milik.
[12] Telah terjadi perubahan dalam pemikiran tentang hal ini.
Berbagai pandangan baru yang bersinggungan dengan teori-teori Marxis
yang berupaya memberikan porsi lebih terhadap kebebasan manusia juga
bermunculan. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh
new left dan
new right.
Mereka ini berpandangan bahwa demokratisasi haruslah memiliki ciri-ciri
penciptaan suasan yang terbaik agar setiap orang dapat berkembang
sesuai bakat dan keahliannya masing-masing. Di samping itu, manusia juga
diberi hak-hak perlindungan dan penggunaan sewenang-wenang otoritas
politik dan kekuasaan. Demikian juga, sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai, mereka memberikan catatan tambahan tentang ciri demokratisasi
yaitu haruslah mampu memberikan keterlibatan yang sama di antara warga
negara dalam bidang politik dan ekonomi yang dapat mensejahterakan
mereka.
[13]
Ternyata dari dua ciri-ciri demokratisasi yang disebut di atas dapat
dikatakan bahwa demokratisasi mengalami berbagai bentuk dan tujuan yang
dikaitkan dengan perbedaan mereka dalam memahami (subyektif) dan dengan
obyek yang berbeda pula. Untuk membuktikan kesimpulan tersebut, dapat
diungkap di sini bahwa terdapat pemikiran yang menitikberatkan pada
eksisstensi lembaga eksekutif. Ted Robert Gurr.
[14] Demikian juga terhadap pemikiran Mitchell dan Simmons yang mengrahkan pada pilihan publik
[15] dan John Rawl yang mengutamakan aspek hukum.
[16]
Berbagai dimensi dan tara pandang terhadap demokratisasi di atas juga
berimplikasi terhadap banyak ragamnya demokrasi yang ada. Demokrasi
perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi yang populer dan sering
diterapkan demokrasi negara-negara maju. Walaupun demikian, demokrasi
perwakilan bukan satu-satunya bentuk demokrasi. Dalam istilah
demokratisasi setidaknya mengenal banyak ragam demokrasi antara lain
demokratisasi protektif, pembangunan, keseimbangan dan partisiparis.
[17] Demokrasi sisi lain, Sklar menunjuk lima bentuk demokrasi, yaitu demokratisasi liberal, terpimpin, sosial, partsisipasi, dan
consociational.
[18]
Dari uraian demokrasi atas dapat dikatakan bahwa demokratisasi dapat
berjalan dengan baik jika prasyarat tertentu dipenuhi. Demokrasi
kalangan para pakar telah terjadi immak bahwa demokrasi hanya kondusif
demokrasi negara maju dan demokrasi lingkungan negara kapitalis saja.
[19]
Sedangkan demokrasi negara yang berkembang atau terbelakang cenderung
pelaksanaan demokratisasi tidak berjalan baik dan bahkan tidak berjalan
sama sekali. Salah satu faktornya adalah kebutuhan biologis masyarakat
belum sepenuhnya terpenuhi. Oleh karena itu, mereka tidak banyak
memikirkan hal-hal lain yang mendasar dan luas bagi kelagsungan
kehidupan mereka dalam kancah perpolitikan. Mereka hanya cukup untuk
mendapatkan seusap nasi guna mendapati kelangsungan hidup mereka dan
yang terpenting perut tidak kosong.
Substansi demokrasi yang berkembang dalam berbagai teori dan telaahan
pemikir dapat disimpulkan dalam tiga agenda dasar yaitu: hak politik
yang berkaitan erat dengan hubungan negara dengan masyarakat, hak sipil
(demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi) yang berhubungan dengan
hubungan elite dengan massa, dan hak aktualisasi diri (demokrasi budaya
dan demokrasi agama) yang berhubungan dengan warga negara dengan negara
dan warga negara dengan sesamanya.
Dari uraian tentang demokrasi di atas, jelas bahwa demokrasi memilki
pilar-pilar uatama yang merupakan soko gurunya. Di antara pilar-pilar
demokratisasi adalah kedaulatan rakyat, pemilihan yang bebas dan jujur,
dan kekuasaan mayoritas dan hak-hak minoritas. Oleh karena itu,
demokratisasi sering diidentikkan dengan seperangkat prosedur tertentu
dalam menjadikan bentuk pemerintahan yang berada dalam kekuasaan rakyat.
Abba>s Mah}mu>d al-Aqqa>d dalam bukunya
al-Dimuqratiyah fi al-Isla>m mengungkapkan
asas-asas demokrasi yang berkembang di dalam Islam. Dasar penetapan
asas-asa tersebut adalah berpijak pada sumber ajaran Islam (al-Qur’an
dan hadis) dan praktek kenegaraan yang berkembang di masa Nabi Muhammad
saw. dan khulafa>‘ al-Ra>syidi>n. Secara lengkap asas-asas
demokrasi adalah: tanggung jawab individu, persamaan manusia dan
hak-haknya, musyawarah, dan solidaritas sosial.
[20]
Sementara, Kuntowijoyo mengeksplorasi enam macam ciri dan substansi
dari demokratisasi yang terkandung dalam sumber ajaran Islam
(al-Qur’an). Keenam prinsip tersebut adalah:
ta’a>ruf (saling mengenal),
syu>ra (musyawarah),
ta’a>wun (kerjasama dan koperasi),
mas}lahah (menguntungkan masyarakat),
adl (berbuat adil),
tagyir (perubahan).
[21]
Dari beberapa penjelasan tentang demokratisasi di atas yang bersumber
dari beberapa pemikir muslim dan Barat, tempat di mana lahirnya tradisi
demokrasi, maka pemahaman tentang demokrasi menjadi suatu yang beragama
sesuai dengan konteksnya. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan
isu-isu demokratisasi yang berjalan di negara-negara Barat dengan
negara-negara Timur (Islam). Namun, realitas menunjukkan lain, acapkali
demokratisasi dipaksakan oleh negara maju dengan serangkaian besar dana
dan prosedur yang ketat agar demokratisasi dilaksanakan sesuai
keinginan mereka, padahal locus dan tempos-nya
berbeda. Ada yang menerima, menola dan ada yang memberi apresiasi dengan
sewajarnya. Penjelasan terhadap masalah ini dapat dilihat perjalanan
demokratisasi dalam sejarah di pembahasan selanjutnya.
III. SEJARAH DEMOKRASI DAN PERJALANANNYA: Kasus Pakistan
Demokratisasi berjalan seiring dengan perjalanan umat manusia di muka
bumi. Ia menjadi isu yang penting dan menerpa di berbagai negara di
dunia termasuk dunia Islam. Fenomena ini setidaknya mulai terlihat dalam
dasa warsa terakhir di abad kedua puluh. Bersamaan dengan lahirnya
gerakan keagamaan, ia terkadang seiring dan sejalan dengan pembentukan
politik yang lebih demokratis. Namun, di wilayah lain menunjukkan
fenomena yang paradoks.
[22]
Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya, demokratisasi
lahir dan besar di lingkungan Barat, Athena dan menjadikan Barat sebagai
suatu yang patut ditiru dan dicontoh oleh masyarakat Timur termasuk
Islam.
Pembahasan tentang realitas empirik demokratisasi yang berjalan di
dunia Islam dapat diihat dalam perjalanan negara Pakistan. Walaupun,
negara Pakistan tidak dapat dijadikan sebagai gambaran umum tentang
gagalnya demokratisasi di dunia Islam. Namun, sosok unik negara Pakistan
dalam perjalanan sejarahnya berkutat dan bercengkarama bersama
demokratisasi patut direnungkan sebagai gambaran dan cermin menuju
masyarakat yang lebih baik.
Berbicara tentang negara Pakistan tidak akan terlepas dengan negara
tetangganya India. Sebelum memisahkan diri menjadi sebuah negara
Pakistan adalah menjadi bagian dari India yang mayoritas berpenduduk
Hindu. Adalah bayangan masa silam untuk meraih kejayaan kembali sebagai
suatu impian yang dicita-citakan.
[23] Pakistan lahir sebagai negara 15 Agustus 1947 bagi umat Islam India dengan gumbernur Jenderal Ali Jinnah.
[24]
Sejak beridiri sebagai negara Pakistan berusaha menerapkan syari’at
Islam dalam negara. Tawaran-tawaran terus muncul di dalam pemerintahan
ini. al-Maududi memberi kontribusi tentang bentuk pemerintahan teokratik
yang bersifat tradisional. Di pihak lain Fazlur Rahman merekomendasikan
bentuk negara yang lebih modern berdasarkan kedualatan rakyat.
[25]
Sistem pemerintahan diadopsi dari al-Qur’an dan hadis, sebagaimana
tercermin dalam Rancangan UU Liga Muslim tahun 1940 dan disahkan menjadi
UU tahun 1956 menjadi sebuah Republik Islam Pakistan. John L. Esposito
menyebut undang-undang ini sebagai perundang-undangan yang demokrasi
dan Islami.
[26]
Anggapan demikian sangatlah beralasan karena Pakistan sebagai negara
Republik Islam dan menganut sistem parlementer model Westminster.
Prinsip-prinsip tersebut disepakati oleh kebanyakan kalangan di
Pakistan.
Tidak berjalan lama, enam tahun kemudian, tepatnya 1962 kata Islam
dihilangkan. Penghilangan ini disebabkan oleh banyak faktor di antaranya
banyak yang tidak puas dengan slogan Islam dan tidak banyak persoalan
yang terpecahkan. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah bagaimana
ciri ciri Islami yang tercermin dalam ideologi dan pranata sosial yang
ada?
[27] Oleh karena itu,, agar tidak menyolok, didirikan dua dewan yakni dewan ideologi Islam dan lembaga penelitian Islam.
[28]
Perjalanan Pakistan dalam pentas sejarah telah banyak dicatat
sejarawan. Babakan pemerintahan negara Pakistan yang terkesan ambigu
dalam menangkap isu-isu identitas nasional dan demokrasi. Hal tersebut
tercermin dalam masa pemerintahan Ayub Khan (1958-1969) yang menerapkan
demokrasi terpimpin, Zulfikar Ali Butho (1971-1977) yang menerapkan
sosialisme Islam populis, dan Zia Ul-Haq (1977-1988) yang menerapkan
otoritarisme.
[29]
Demokrasi terpimpin mulai dilaksanakan sejak masa pemerintahan Ayub
Khan. Gaya pemerintahan sebelumnya tidak cocok lagi untuk tetap
dipertahankan. Krisis-krisis yang multi dimensional tidak akan dapat
teratasi dan oleh sebab itu dilakukanlah beberapa peryundang-undangan
darurat. Sikap keagamannya adalah modernis dengan berpaling kepada para
cendekiwan dan sarjana Islam. Walaupun demikian, keberadaannya sering
ditentang oleh kalangan Islam sendiri.
Zulfikar Ali Butho memerintah dengan mengakomodasi Islam. Hal ini
terlihat dalam usahanya untuk mengharuskan setiap presiden dan perdana
menterinya seorang muslim. Di samping itu, berbagai program dilakukan
dengan cara mensejahterakan rakyatnya melalui sejumlah proyek atas
partisipasi Saudi Arabia. Ali Butho dibabat habis oleh pesaing dari
oposisinya karena tidak menginginkan ia memerintah lebih lama. Oleh
karena itu, 4 April 1979 Zia ul-Haq berhasil menggulingkannnya dari
kursi pemerintahan.
[30] Dengan demikian, terjadi pergeseran kepemimpinan di Pakistan ke rezim otoritarian.
Perjalanan sejarah Pakistan tersebut menyebabkan demokrasi tidak
berjalan dengan baik, terutama pada masa Zia Ul-Haq. Oleh karena itu,
terdapat beberapa usaha yang dilakukan para politisi melalui beberapa
kritik yang dilancarkan. PPP Butho dan PNA bergabung dalam sebuah
gerakan untuk memulihkan demokrasi. Gerakan ini dikenal dengan MRD.
[31]
Upaya yang dilakukan oleh Zia dalam bentuk Islamisasi Pakistan tidak
dapat berjalan dengan baik seiring dengan kematiannya yang tragis dalam
kecelakaan pesawat terbang. Seiring dengan hal itu, maka diadakanlah
pemilian umum yang paling demokratis di Pakistan pada November 1988.
Pemilu tersebut dimenangkan oleh Benazir Butho dan menyaingi rivalnya
Aliansi Demokrasi Islam (AJI).
[32]
Pasca Zia dilangsungkan pemulihan demokrasi. Pergumulan Islam dan
demokrasi menjadi marak. IJI berkeinginan untuk memasukkan isu tersebut
di dalam pemerintahan, sementara PPP menginginkan pemerintahan yang
tetap Islam dan tidak terkungkung pada demokrasi yang sekuler.
[33] Pergulana tersebut tetap berjalan sampai sekarang, walaupun telah berganti-ganti pemerintahan.
Dari pengalaman Pakistan di atas tampak bahwa negara Islam Pakistan
mencari bentuk dan di dalamnya terdapat berbagai macam corak ragam. Hal
ini menandakan bagaimana kuatnya tansformasi yang hebat antara Islam dan
demokratisasi. Keduanya saling megisi dalam pemerintahan dan mengklaim
mempunyai dasar-dasar yang ideal dalam menata ketatanegaraan. Ada yang
berusaha memadukan di antara keduanya dan ada juga yang memilih salah
satu di antara keduanyadan bahkan ada yang meninggalkannya dengan
mencoba melakukan pemerintahan yang otoriter. Oleh karena itu,
perjalanan sejarah yang demikian membuat masyarakat Pakistan dapat
berdiri kokoh dalam keseharian walaupun nyawa pemerintahan sering
berganti. Pada sisi lain, ada kecenderungan untuk mersespon dalam
tradisi dan budaya lokal Pakistan. Dengan demikian, isu demokratisasi di
Pakistan sangat menarik dan multi wajah penampakan.
IV. ISLAM DAN DEMOKRATISASI: Persamaan dan Perbedaan
Persinggungan Islam dan demokratisasi baru muncul sejak umat Islam
berisnggungan dengan Barat. Barat yang identik dengan pelaksanaan
demokratisasi karena telah lama mempraktekkan demokrasi dan didukung
dengan kondisi perekonomian yang baik membuat mereka berupaya keras
untuk membuat masyarakatnya lebih baik dan sejahtera. Oleh karena itu,
mereka berupaya menguasai dan menduduki daerah-daerah lain terutama
demokrasi kawasan Asia dan Timur Tengah untuk mendapatkan sumber
kekayaan yang strategis.
Mesir telah beringgungan dengan Prancis, India dengan Inggris dan
Indonesia dengan Belanda. Ketiga wilayah negara tersebut dapat disebut
guna mewakili dominasi Barat demokrasi negara muslim yang dapat
memunculkan berbagai pembaruan yang significant dalam kehidupan dan pemikiran yang berkembang demokrasi negara tersebut.
Sejak Ali Pasya, telah dilakukan upaya penerjemahan karya Machievelli
ke dalam bahasa Arab. Walaupun kenyataan tersebut dilakukan namun,
pemerintahan Ali Pasya sangatlah otoriter. Demikian juga terhadap
masyakarat India yang dijajah Inggris. Adanya persinggungan dan
pemberdayan sumber daya manusia melalui MAOC (Mohammedan Anglo Oriental
College) Aligarh Ahmad Khan berupaya terus menyadarkan masyakarat
muslim. Sampai pada kahirnya, Pakistan menjadi sebuah negara tersendiri
yang bercirikan Islam.
Kehadiran Barat dalam berbagai negara demokrasi atas walaupun dengan
landasan yang berbeda namun mereka juga dapat memberikan nilai positif
bagi penduduk setempat. Namun, diakui atau tidak dari segi ekonomi dan
pendidikan acap kali mereka tidak diberdayakan. Kenyataan tersebut terus
berlangsung sampai penjajahan dianggap sebagai sesuatu yang melanggar
kedaulatan negara. Oleh karena itu, satu persatu negara muslim dan lain
yang demokrasi bawah genggaman kolonialis dilepaskan, dimerdekakan atau
memerdekakan diri.
Sementara, di sisi lain banyak komunitas muslim yang ditindas oleh
negara yang mayoritas beragama lain berupya mencapai kemeredekaan belum
dapat terwujudkan dengan baik. Masyarakat Moro di Philipina dan Kaum
muslim di Pattani Thailand menambah adanya kesenjangan antara minoritas
dan mayoritas. Di pihak lain, ketidakadilan masyarakat internasional
dalam menilai dan menyikapi masalah-masalah yang berkembang di beberapa
negara sering memiliki standart ganda. Lihat saja, pertikaian antara
Israel dan Palestina yang merenggut lebih drai 80 nyawa tidak satupun
resolusi yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB, sementara ketika tiga
orang di antara mereka yang menjadi tragedi pembunuhan di Atambua
responnya sangat berlebihan.
Dari sini tampak bahwa masih terdapat adanya upaya pemaksaan dari
negara maju kepada negara lain untuk menerapkan isu-isu yang sebenarnya
sudah mereka lakukan dan dijadikan sebagai proyek uji coba “kelinci
percobaan” dalam berbagai kasus yang membuat mereka mampu survive.
Sekali lagi, Barat adalah pemilik semuanya baik modal maupun pengalaman
bernegara. Oleh karena itu, tidak selalu mengherankan di masa sekarang
terjadi pemaksaan kehendak demi tercapainya tujuan dan misis-misi
tertentu.
Keniscayaan tersebut sering terabaikan dan bahkan disia-siakan
manakala berbagai isu-isu demokratisasi dihadapkan dengan pandangan
keagamaan tertentu. Walaupun di dalam tubuh wacana pemikiran Islam
terdapat berbagai macam corak yang melingkupinya. Namun, upaya
dinamisasi Islam terhadap demokratisasi sering dijumpai dalam pemikiran
Islam.
Terdapat beberapa kerancuan di dalam memahami demokratisasi.
Demokratisasi sering diidentikan dengan Islam. Namun, tidak semua
nilai-nilai demokratisasi sesuai dengan Islam. Oleh karena itu, harus
arif dan bijaksana dalam menilai keduanya, di manakah Islam dan
demokratisasi itu bertemu dan di manakah keduanya berbeda? Mencermati
hal ini, Fahwi Huwaydi mengatakan adanya kesemerawutan di dunia Islam
dan Arab khususnya.
[34]
Berbagai upaya Islam menanggapi demokratisasi dapat dilihat dalam
berbagai persamaan dan perbedaan yang dijelaskan dalam tulisan di bawah
ini yang dielaborasi dari berbagai tulisan yang membahas persinggungan
Islam dan demokratisasi.
a. Persamaan
Berdasarkan ciri-ciri demokratisasi dalam wacana pemikiran di atas,
tampak bahwa ada berbagai persamaan antara demokratisasi dan Islam.
Kesesuaian antara Islam da demokratisasi tidak saja ditujukan pada
susbtansi demokratisasi dalam tubuh Islam yang lebih berisfat filosofis
melainkan juga ada anjuran secara normatif (literal) dalam memasuki
wilayah demokratisasi.
Berbicara asal pengertian demokrasi yang diungkapkan oleh Abraham
Lincoln, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka
pembahasan tersebut ada di dalam Islam. Namun, jika yang dimaksud
hanyalah sistem sosial tertentu seperti persamaan di depan
undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan
sosial, memberi jaminan hidup hak-hak tertentu, dan sebagainya juga
dijamin di dalam Islam. Sampai di sini di dalam formulasi klasik
ditemukan perbedaan. Kajian-kajian fiqh dan usul fiqh menempatkan hak
Allah, di samping hak manusia dan di antara keduanya.
Adanya varian-varian makna demokratisasi menyebabkan umat Islam harus
mencermatinya. Salah satu bentuk varian tersebut adalah adanya
pemisahan kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dengan kekuasaan lain
seperti legistlatif dan yudikatif. Pemisahan semacam ini dilakukan untuk
memberikan kesempatan yang luas bagi rakyat untuk melakukan
pengorganisasian negara dengan kekuasaan. Maksud baik ini adalah untuk
meminimalisir adanya pemerintahan yang absolut. Di dalam mengorganisasi
negara imam atau presiden cenderung berkuasa penuh dan oleh karenanya
ada pengawas yang disebut legislatif yang berusaha membuat aturan
permainan di dalam melaksanakan kehidupan kenegaraan
[35] Dengan demikian, pemerintahan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa kendali.
Sampai dalam hal ini Islam dan demokrasi dapat dipertemukan satu
dengan lainnya. adanya kerjasama, saling tolong menolong, keadilan (justice), musa>wah (persaman), dan musyawarah (syura).
Ciri-ciri tersebut melekat dalam demokratisasi dan sisi ideal Islam.
Praktek-praktek kenegaraan di negara Islam cenderung berbeda-beda
tergantung respon umat Islam di dalamnya. Oleh karena itu, realitas
empirik yang demikian tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa Islam
tidak merespon ide dan isu-isu demokratisasi.
Di samping itu, dalam dimensi pemikiran yang berkembang di dalam umat
Islam juga tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang identik dengan
pemasungan demokratisasi. Walaupun demikian, ada juga pemikiran yang
sangat apreasiatif terhadap demokratisasi di kalangan pemikir dan
cendekiawan tertentu. Sekali lagi, idealisasi pesan yang ada di dalam
al-Qur’an dan hadis terutama dalam kaca mata dilosofis sangat
mendukung ide demokratisasi dalam pemerintahan.
B. Perbedaan
Sebaliknya, Islam yang di dalamnya diatur berbagai persoalan yang
tidak saja berkaitan dengan masalah dunia juga masalah keakheratan,
tidak semuanya dapat disejajarkan dengan demokratisasi. Ketidaksesuaian
tersebut lebih banyak dikarenakan oleh habitat yang berbeda dan bukan
substansi permasalahan yang berada di dalam dataran filosofis.
Secara jelas dan lengkap perbedaan yang terjadi antara demokratisasi dan Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
Secara terminologis, Dhiya al-Di>n al-Rais membedakan pengertian antara bangsa (
nation) dengan
ummat (
Islamic Community).
[36] Semangat pembentukan
nation yang
telah terbungkus dalam wilayah geografis tertentu, dan adanya kesamaan
di antara mereka baik yang berkenaan dengan sejarah, etnis maupun yang
lain merupakan sebuah gejala yang menimbulkan gerakan yang tidak baik.
Gerakan tersebut antara lain adalah nasionalisme dan rasialisme yang
fanatisme. Sebaliknya, keberadaan ummat di dalam Islam, tidak ada satu
ikatan pun yang dapat membelenggunya. Hanya ikatan kepercayaan terhadap
Allah yang terbungkus dalam tauhid dan akidah yang dapat menyatukan
ummat Islam di seluruh dunia dengan tanpa sekat-sekat apapun yang
melingkupinya.
[37]
Adanya pandangan di atas lebih disebabkan karena mereka asumsi Islam
akan jaya jika seluruh wilayah Islam berada dalam satu kekhalifahan.
Namun, dalam hal ini, terdapat berbagai macam bentuk pemikiran di antara
umat Islam. Salah satunya adalah Ali ibn Abd. al-Raziq yang mementahkan
upaya tersebut. Ia memandang bahwa al-Qur’an tidak mengatur secara
jelas tentang kewajiban pembentukan kekhalifahan.
[38] Usaha ini tentu didukung oleh realitas empirik di masa lampau ketika kelahiran nasionalisme dan
nation state yang ditandai berakhirnya kolonialisme Barat.
Adanya keinginan umat Islam sebagai ummat yang menguasai dunia
sebagaimana hanya terdapat ikatan keagamaan saja dalam kaca mata
sekarang sudah dapat dirasakan. Walaupun isu-isu tersebut tidak laku dan
tidak populer ketika masih maraknya ide nasionalisme. Namun, di era
modern ini di mana era globalisasi melanda dunia secara keseluruhan,
lambat laun namun pasti keberadaan nastion atau state semakin menipis.
Di mana keberadaan
nation tidak dapat lagi dipertahankan
sebagai sebuah batas tertentu secara geografis dan pengendalian serta
pengorganisasian lebih luas dari apa yang dilakukan dahulu. Dunia saat
ini hanya dikuasai oleh empat I, yaitu Investasi, Industri, Informasi,
dan individual.
[39]
Dengan demikian, adanya ummat yang satu dalam batas-batas tertentu
dpaat dimungkinkan dengan alasan kepentingan tertentu pula. Seperti
kawasan Eropa membentuk mata uang yang sama Euro dalam kegiatan
perekonomian mereka.
Perbedaan yang kedua adalah dilihat dari tujuan demokratisasi. Tujuan
demokratisasi yang berkembang di Barat lebih bersifat duniawi dan
materialis. Oleh karena itu, berbeda dengan Islam yang berusaha menggait
dan memadukan kepentingan sesaat di dunia dengan kepentingan di hari
akhirat. Dari sini tampak bahwa di dalam negara Islam terdapat
kecenderungan tertinggal dengan Barat.
Oleh karena itu, tidak ada masalah jika masalah-masalah yang sangat
dilarang agama seperti perzinahan, minuman keras dan sebagainya untuk
didiskusikan sebagai sesuatu yang sah. Hal ini terjadi di negara-negara
Barat. Berbeda dengan negara Islam, di dalamnya sudah tidak ada ruang
lagi di dalam membahas masalah-masalah keagamaan yang sudah jelas
dilarang oleh pembuat syari’. Yakni, “sesuatu yang halal dan haram itu
jelas” dan “sesuatu yang halal adalah sesuatu yang telah dihalalkan
dalam al-Qur’an begitu juga sebaliknya terhadap sesuatu yang dilarang
dan sesuatu yang didiamkan merupakan sebuah kebebasan bagi umat manusia
untuk menggunakannya dan ini merupakan kemurahan Allah”.
[40]
Di samping itu, perbedaan juga terlihat dalam kekuasaan yang diemban
rakyat dalam demokratisasi Barat cenderung mutlak dan di dalam Islam
setiap orang harus tunduk pada hukum Allah, siapapun orangnya baik
penguasa maupun rakyatnya. Bukan berarti kekuasaan tertinggi di dalam
Islam adalah Tuhan karena Islam tidak sama dengan paham teokrasi.
Demikian juga dengan paham otokrasi karena Islam tidak memberi kekuasaan
yang berlebihan kepada penguasa dan tidak juga pada undang-undang yang
melairkan ciri negara nomokrasi. Oleh karena itu, kekuasaan dalam Islam
dipegang ummat dan undang-undang serta syari’at Allah.
[41]
Pemikir lain yang berusaha memahami dasar ideal Islam adalah Abu A’la
al-Maududui. Ia menganggap bahwa tidak ada demokrasi di dalam Islam.
[42]
Pemerintahan yang berketuhanan yang cocok di dalam Islam dan bentuk
semacam ini adalah berbeda dengan yang berkembang di Barat. Tipe-tipe
tawaran semacam ini merupakan tawaran kaum fundamentalis di dalam
menyikap kondisi gencarnya isu demokratisasi.
[43]
Di sisi lain, terdapat pemahaman yang berupaya mengintegrasikan
antara demokratisasi dan Islam, sebagaimana dilakukan oleh Aba>s
Mah}mu>d al-Aqq>d dalam masalah kedaulatan (
al-siya>sah), Aqqa>d memadukan di antara kontrak antara penguasa dengan rakyat dan kontrak dengan Tuhan.
[44]
Pemikiran ini berkeinginan memadukan sisi-sisi tertentu antara
al-Qur’an dan demokratisasi. Tidak semua hal diatur di dalam Islam,
termasuk masalah ini.
Berbeda dengan keduanya, Saifuddin Abdul Fatah mengajak kepada
seluruh ummat Islam agar memikirkan sistem politik yang cocok dan sesuai
dengan Islam dan harus berhati-hati dengan sistem Barat. Demokratisasi
menduduki kunci yang pertama dalam berbagai hal:
1. Segala bentuk yang diambil dari non Muslim tidak akan membawa kepada kemajuan yang significant.
2. Sistem-sistem yang dijadikan alat problem solving pasti
bertentangan dengan syari’at Islam baik secara keseluruhan maupun
bagian-bagian tertentu.
3. Akidah Islam menganjurkan agar membentuk sistem pemerintahan
sendiri yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Demikian juga sebaliknya,
harus mampu menolak ideologi-ideologi yang tidak sejalan dengan akidah
Islamiyah.
[45]
Sementara itu, Bahtiar Effendi, memberikan beberapa perbedaan antara
demokratisasi dan Islam. Di dalam Islam memungkinkan adanya konsep
ahl al-zimmi (posisi/kedudukan
umat non-muslim di negara Islam). Adanya bentuk pemahaman semacam ini
tidak mungkin terjadi di dalam negara yang menganut sistem
demokratisasi. Karena di dalamnya diakui hak-hak minoritasnya.
[46] Kajian tersebut semakin menambah deretan adanya suatu hal yang berbeda antara Islam dan demokratisasi.
Berdasarkan pandangan yang terakhir ini tampak ummat Islam akan
sangat represif di dalam memahami wacana yang berkembang dan bukan ini
yang seharusnya dilakukan umat Islam. Umat Islam akan dapat maju dan
berkembang manakala mampu berdialog dan bersinggungan dengan Barat,
termasuk bercengkrama dengan demokratisasi. Berbagai pemikiran di atas
merupakan khazanah pemikiran keislaman yang patut dihargai. Oleh karena
itu, kesadaran untuk berbeda dalam menyikapi demokratisasi dan
masalah-masalah lain perlu dikampanyekan. Kegagalan akan upaya yang
demikian akan menimbulkan kekerasan terutama di antara masyarakat awam.
Tentu, demokratisasi yang dibangun harus disesuaikan dengan kondisi
tempat dan waktu di mana suatu negara akan menjalankannya. Kondisi
Indonesia akan berbeda dengan kondisi Pakistan begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, kearifan akan dapat menghantarkan kesuksesan di mana
akan menempatkan demokratisasi sesuai dengan habitatnya. Biarkan sesuatu
yang sesuai dengan Islam tetap berjalan dan yang tidak sesuai dengan
Islam untuk ditinggalkan.
V. KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Demokratisasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang kekuasaan di
tangan rakyat. Ia lahir di dalam masyarakat Athena-Yunani dan merupakan
alternatif pemerintahan yang baik pada saat itu. Keberadaan
demokratisasi sejak lahir sampai usianya sekarang, telah mengalami
banyak perubahan dan menuju modernisasi dan menimbulkan berbagai macam
teori. Banyak negara mengadopsinya untuk menatap pemerintahan yang
modern. Berbagai isu dan proyek tersebut banyak diucjicobakan di dalam
dunia Islam.
2. Kajian masalah demokratisasi dalam wacana studi Islam banyak yang
menyamakan dan membedakan tanpa memilah dan memilih mana yang baik dan
yang tidak baik. Pembahasan yang amat bijaksana juga ada sebagaimana
dilakukan oleh Dhiya al-Din al-Rais yang mengungkap sejumlah perbedaan
dan persamaan antara Islam dan demokratisasi. Pemikiran lain, juga
diungkapkan oleh Bahtiar Effendi. Di samping itu, ada juga pemikiran
yang melihat sebaliknya terutama dikemukakan oleh Abu A’la al-Mawdudi
dan kawan-kawan di kalangan fundamentalis. Sementara, di dalam realitas
empirik menunjukkan bermacam-macam respon umat Islam terhadap
demokratisasi.
—000—
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996.
al-Aqqa>d, Abba>s Mah}mu>d. al-Dimuqratiyah fi al-Isla>m (Beirur: Mansyu>ra>t al-Maktabat al-’Asriyah, t.th.
Donohue, John J. dan John L. Esposito, Islam in Tradition, Muslim Perspective diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaruan Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakaarta: Rajawali Press, 1995.
Effendi, Bahtiar. “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban. Cet. I; Jakarta, Paramadina, 1996.
——-Islam and Democracyt: in Search of a Viable Systhesis dalam Studia Islamika, Vo. 2, No. 4, 1995.
——Masyarakat Agama: Deprivatiasai Agama, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradabn Ulumul Qur’an edisi 3/VII/1997.
Esposito, John L. Islam and Democracy diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Demokratisasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Praktek. Bandung: Mizan, 1999.
——–Islam and Development diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin dengan judul Identitas Islam pada Perubahan Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Huwaydi, Fahmi. al-Isla>m wa al-DImuqratiyah diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Goffar E.M. dengan judul Demokratsi oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik Islam. Cet. I; Bandung: Mizan, 1996.
Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Ma>jah, jilid II (Mesir: Isa al-Babi al-Hubla wa Auladuh, t.th.
Karim, M. Rusli. Peluang dan Hambatan Demokratisasi dalam Analisis CSIS, Tahun XXVII, No. 1 Januari-Maret 1988.
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Cet. II; Bandung: Mizan, 1997.
Magnis-Suseno, Franz. “Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban. Cet. I; Jakarta, Paramadina, 1996.
Ohmae, Kenichi. The End of the Nation State dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret-April 1996.
al-Raziq, Ali ibn Abd. al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm. Cet. III; tp., 1925.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajarn, Sejarah, dan Pemikirannya. Cet. VIII; Jakarta: UI Press, 1990.
Taylor,David. “Politik Islam dan Islamisasi Pakistan” dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
The World of Encyclopaedia, juz V. Chicago: World Book, Inc., 1983.
Tibi, Bassam. The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder. Los Angles: University of California Press, 1998.
[1]Isu-isu penting yang berkembang di era modern di antaranya globalisasi, demokratisasi dan
civil society.
Ketiga hal tersebut dalam beberapa hal memaksa umat Islam dan dunia
Islam untuk meresponnya. Oleh karena itu, kajian-kajian tentang hal ini
mulai banyak ditemukan, terutama oleh penulis kontemporer yang berupaya
mengakomodasinya dalam wacana keislaman. Tulisan-tulisan tersebut antara
lain: Abba>s Mah}mu>d al-Aqqa>d,
al-Dimuqratiyah fi al-Isla>m (Beirur: Mansyu>ra>t al-Maktabat al-’Asriyah, t.th.), John L. Esposito,
Islam and Democracy diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul
Demokratisasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Praktek (Bandung: Mizan, 1999), Bahtiar Effendi dalam berbagai artikel yang ditulis seperti
Islam and Democracyt: in Search of a Viable Systhesis
dalam Studia Islamika, Vo. 2, No. 4, 1995, h. 1-20, Masyarakat Agama:
Deprivatiasai Agama, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradabn Ulumul Qur’an
edisi 3/VII/1997, h. 43-51, dan berbagai tulisan lain yang menggambarkan
berbagai isu tersebut.
[2]Tiga bentuk respon umat Islam dalam menyikapi hubungan Islam dengan negara adalah
pertama,
anti Barat, yang mengangsumsikan sismtem terbaik adalah sistem yang
dijalankan oleh Rasulullah saw. dan pemerintahan sesudahnya (
khulafa>’ al-ra>syidu>n). Kelompok ini diwakili oleh Hasan al-Banna, Rasyid Ridha, Sayid Qutb, dan al-Maududi. Sebaliknya, kelompok
kedua menganggap
Islam mempunyai kesamaan dengan agama-agama di Barat yang tidak
mengatur persoalan kenegaraan. Oleh karena itu, mereka menganggap Islam
tidak mempunyai sistem kenegaraan. Masuk dalam pemikir ini adalah Taha
Husain dan Ali ibn Abd. al-Raziq.
Ketiga, mengakomodir
keduanya, dengan mengatakan Islam hanya memberikan tata nilainya saja
sedangkan realisasinya tergantung ijtihad masing-masing kaum muslimin.
Haekal adalah masuk dalam tipe ketiga. Lihat Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikirannya (Cet. VIII; Jakarta: UI Press, 1990), h. 1-2, Abdul Aziz Thaba,
Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 111.
[3]Pengalaman-pengalaman
negara-negara Islam tidak sama dalam meresponnya. Saudi Arabia
merupakan kerajaan Islam yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan
kenegaraannya Namun, banyak yang menilai negara tersebut tidak
demokratis. Di negara-negara lain, isu yang demikian telah
menempatkannya sebagai isu penting. Sebuah negara atau person lebih aman
ketika tidak dijustifikasi sebagai negara atau seorang yang demokratis
dan tidak otoriter daripada tidak Islami. Demikian juga terhadap hal-hal
yang melingkupi dari pengalaman negara muslim dalam demokratisasi.
Lihat John L. Esposito,
Islam and…. Minimnya kajian terhadap
demokratisasi yang berkembang di negara Islam membuat kajian ini tidak
populer di negara-negara Islam. Lihat kajian Bahtiar Effendi, “Islam dan
Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan dalam M. Nasir
Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed),
Agama dan Dialog antar Peradaban (Cet. I; Jakarta, Paramadina, 1996). h. 86.
[4]Istilah
demokratisasi pertama kali muncul dari Yunani sekitar 2,5 ribu tahun
silam, di salah satu kota Yunani, Athena muncul bentuk pemerintahan
politik baru. Namun, bukan berarti substansi demokrasi tidak dapat
ditemukan sebelumnya. Franz Magnis-Suseno melihat jauh sebelum munculnya
Yunani yakni 4 ribu tahun silam di mana munculnya Abraham (Ibrahim) di
masyakarat Israel telah menemukan akar-akar demokrasi ini. Lihat Bassam
Tibi,
The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder (Los
Angles: University of California Press, 1998), h. 180. Lihat juga,
Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M. Nasir
Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed),
Agama dan Dialog antar Peradaban (Cet. I; Jakarta, Paramadina, 1996). h. 129-130.
[5]Lihat
ibid., h. 121-124.
[6]Ia
merupakan babakan baru dalam sejarah masyarakat Eropa Barat dan Amerika
Utara. Demokratisasi muncul akibat kehancuran struktur-struktur feodal
Abad Pertengahan dengan pendambaan cita-cita pencerahan budi,
rasionalisme, individualisme, sekularisme dan manivestasi revolusi
Perancis. Oleh karena itu, muncul berbagai teori tentang hal ini,
seperti Rousseau. Lihat Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi:….
op. cit., h. 127-129.
[7]Athena
adalah kota yang mampu merealisasikan demokrasi secara langsung dalam
sebuah majelis dan di dalamnya hanya terdiri dari 5000 sampai 6000 orang
yang memungkinkan dalam jumlah tersebut berkumpul dalam satu ruangan.
Namun, bentuk demokrasi langsung tersebut tidak lagi banyak dianut oleh
negara-negara maju dikarenakan jumlah penduduk yang lebih banyak dan
lebih nyaman mengbgunakan perwakilan dalam mengurusi suatu tatanan
kenegaraan. Lihat The World of Encyclopaedia, juz V, (Chicago: World
Book, Inc., 1983), h.106.
[9]Lihat
catatan Bahtiar Effendi tentang jumlah negara yang mengikuti
demokratisasi dan kajian-kajian tentang hal tersebut di Barat. Lihat
Bahtiar Effendi, “Islam dan Demokrasi:….
op. cit., h. 86.
[11]Bahtiar Effensi, “Islam dan Demokrasi:….
op. cit., h. 89.
[12]Lihat M. Rusli Karim,
Peluang dan Hambatan Demokratisasi dalam Analisis CSIS, Tahun XXVII, No. 1 Januari-Maret 1988, h. 6.
[14]Pemikiran
tersebut menghasilkan ciri-ciri demokratisasi sebagai berikut:
persaingan partisispasi politik, persaingan rekrutmen politik,
keterbukaan rekurtmen eksebutif dan keberadaan hambatan dari ketua-ketua
eksekutif. Lihat
ibid., h. 6-7.
[15]Bagi
kedua pemikir tersebut hakekat politik haruslah memilki empat kelompok
pembuat keputusan, yaitu pemilih, pejabat yang dipilih/politisi,
birokrat dan kelompok-kelompok kepentingan. Lihat
ibid.
[16]Rawl menekankan terhadap hak-hak sipil dan politik yang sama, hak-hak sosio-ekonomi yang minimum dan keterpercayaan. Lihat
ibid.
[19]Kuntowijoyo,
Identitas Politik Umat Islam (Cet. II; Bandung: Mizan, 1997), h. 91
[20]Abba>s Mah}mu>d al-Aqqa>d
al-Dimuqratiyah fi al-Isla>m (Beirut: Mansyu>rat al-Maktabah al-’Asruya, t,.th.), h. 29-31.
[21]Kuntowijoyo,
Identitas Politik…. h. 91-104.
[22]Esposito, John L. Esposito,
Islam and Democracy…. op. cit.,
h. 1.
[23]A> Mukti Ali,
Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Cet. III; Bandung: Mizan, 1996), h. 9.
[24]Ali
Jinnah lahir di Karachi tahun 1876 dan krier politiknya dimulai sejak
keiutsertaannya dalam Partai Kongres India Lihat A. Mukti Ali,
Alam Pikiran…. op. cit., h.
191. Ia sangat layak sebagai menjabat jabatan tersebut karena dialah
yang menjadi pioner dalam kemerdekaan Pakistan dan berhasil mewujudkan
impian teman-temannya, seperti Muhammad Abduh dan Sayyid Akhmad Khan.
Berbagai perjalanan selanjutnya lihat John L. Esposito,
Islam and Development diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin dengan judul
Identitas Islam pada Perubahan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 217.
[25]John J. Donohue dan John L. Esposito,
Islam in Tradition, Muslim Perspective diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul
Islam dan Pembaruan Ensiklopedi Masalah-masalah (Jakaarta: Rajawali Press, 1995), h. 452.
[26]John L. Esposito.,
Islam and Democracy…. op. cit., h. 138.
[28]Fungsi
Dewan Penasehat ideologi Islam adalah membuat rekomendasi kepada
pemerintah atas provinsi-provinsi yang dapat menjalankan syari’at Islam
dan memastikan suatu perundang-undangan sesuai atau tidak dengan
syari’at Islam. Sedangkan Lembaga Pusat Penelitian Islam berfungsi untuk
membangun kebali masyarakat Islam atas dasar-dasar yang Islami. Hal ini
sesuai dengan amanat Konstitusi 1956 ayat 197. John L. Esposito.,
Islam and Development…. op. cit., h. 225.
[29]John L. Esposito,
Islam and Democracy…. op. cit., h. 138-139.
[30]Davi Taylor, “Politik Islam dan Islamisasi Pakistan” dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra,
Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 137.
[31]John L. Esposito,
Islam and Democracy…. op. cit., h. 152-153.
[34]Fahmi Huwaydi,
al-Isla>m wa al-DImuqratiyah diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Goffar E.M. dengan judul
Demokratsi oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 1996), h. 193
[38]Terhadap
pemikiran Ali ibn Abd. al-Raziq dalam mersepon pemikiran penghapusan
kekhalifahan Islam dapat dilihat dalam penjelasan panjang beliau dalam
memaparkan sejarah pemerintahan pada masa Rasulullah saw. Lihat Ali ibn
Abd. al-Raziq,
al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm (Cet. III; tp., 1925), h. 64-80.
[39]Lihat Kenichi Ohmae,
The End of the Nation State dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret-April 1996, h.
119-120.
[40]Lihat Ibn Majah,
Sunan Ibn Ma>jah,
jilid II (Mesir: Isa al-Babi al-Hubla wa Auladuh, t.th.), 117. Hadis
no. 3367. Juga diriwayatkan oleh mukharrij al-hadis lainnya.
[41]Fahmi Huwaydi,
al-Isla>m wa al-DImuqratiyah… op. cit., h. 245.
[42]Bassam Tibi,
The Challenge of…. op. cit., h. 187.
[44]Abba>s Mah}mu>d al-Aqqa>d
al-Dimuqratiyah… op. cit., h. 39.
[45]Fahmi Huwaydi,
al-Isla>m wa al-DImuqratiyah… loc. cit.
[46]Bahtiar Effendi,
Islam and Democracy….. op. cit., h. 14