DAM IMM JATIM, "Wujudkan Keberpihakan Terhadap Kaum Mustadh'afin"

Tuesday, February 19, 2013

Kleptokrasi dan Negara Gagal

Diakui atau tidak, sebenarnya korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya. Bahkan, bangsa Indonesia mengarah menjadi negara kleptokrasi, yakni negara yang diperintah oleh para pencuri.

Indonesia semakin terperangkap dalam pusaran “kleptokrasi”. Korup dan “semrawut”. Itulah kenyataan yang ada. Selama ini, berbagai kasus korupsi semakin terungkap. Musuh besar kita kini adalah korupsi. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hanya memberikan pernyataan terkait pemberantasan korupsi, tetapi juga melakukan karya yang lebih nyata.

 
Negara gagal

Kleptokrasi biasa diartikan sebagai negara yang diperintah oleh pencuri. Penguasa memakai uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri atau korupsi. Praktik korupsi dilakukan dengan menyelewengkan kewenangan untuk memengaruhi kebijakan. Kondisi itu terjadi di Indonesia. Korupsi dilakukan lembaga pemegang kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ketiga lembaga itu sering kali melakukan persekongkolan untuk menyelewengkan uang rakyat.

Kasus suap proyek pembangunan wisma atlet di Palembang, Sumatera Selatan, misalnya, adalah salah satu contoh persekongkolan antara politisi di DPR (legislatif) dan pejabat pemerintah (eksekutif). Adapun kasus suap yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar adalah contoh kejahatan korupsi di lembaga peradilan (yudikatif). Contoh kejahatan lain juga sudah banyak terjadi. Ini menjadi bukti kuat bahwa kejahatan oleh mereka yang memiliki kekuasaan semakin merajalela.

Kleptokrasi akan membuat pemerintahan rusak. Praktik koruptif oleh penguasa juga dapat mengganggu proses konsolidasi demokrasi. Jika terus dibiarkan, Indonesia bisa mengarah pada negara gagal. Kita harus mengakui, Indonesia bisa menjadi negara yang gagal sebab penyelenggara negaranya terbelit korupsi di berbagai level. Kondisi ini yang harus segera diatasi pemerintah. Jangan biarkan aparatur negara semakin brutal melakukan korupsi di berbagai lini.

Masyarakat Frustrasi

Masyarakat kini cenderung frustrasi atas tidak adanya jaminan keadilan yang dapat diberikan pemangku kekuasaan. Institusi peradilan, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun pemasyarakatan belum mampu diharapkan bekerja bersih, tanpa korupsi. Kini masyarakat menggantungkan sisa harapannya pada lembaga independen, semisal KPK, Komisi Nasional HAM, dan Komisi Yudisial (KY). Tidak ada yang disisakan bagi masyarakat berkontestasi untuk mencapai keadilannya.

Ada perbedaan perlakuan terhadap masyarakat kecil yang mencari keadilan dengan tersangka korupsi, yang umumnya adalah pejabat, pengusaha, atau politisi. Hampir dalam semua kasus, petani kecil itu selalu dikalahkan. Pengusaha dan politisi koruptor selalu menang.

Apalagi, selama ini sistem peradilan yang dihancurkan secara sistematis oleh pemangku keadilan, penegak hukum, politisi, pejabat, dan pengusaha melalui cara-cara memperjualbelikan dan mentransaksikan keadilan dengan fasilitas mewah. Karena itu, KY harus menjelankan tugasnya sebagai pembersih lembaga pengadilan dari hakim-hakim nakal.

Terungkapnya kasus suap pada sejumlah hakim, juga pada aparat pemerintah lainnya, makin menggerus kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum. Untuk itu, diperlukan kontrol dan pengawasan berlapis terhadap kinerja hakim dan penegak hukum agar mereka tidak terus terjangkiti virus korupsi.

Terbongkarnya kasus suap yang melibatkan hakim sangat memprihatinkan. Peradilan adalah benteng terakhir dari proses hukum setelah proses penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan. Jika benteng terakhir penjaga keadilan tergerogoti virus korupsi, tentu akan sulit dibayangkan penegakan hukum di negeri ini bisa berjalan baik. Tertangkapnya hakim Syarifuddin terkait kasus korupsi sekali lagi membuktikan, mafia hukum dan peradilan masih berjalan. Selama ini dugaan itu terasa, tetapi belum dibuktikan nyata. Karena itu, MA tidak bisa terus-terusan membantah, melainkan harus mengakui adanya masalah dalam tubuh hakim.

Memperbaiki sistem peradilan dan hakim di dalamnya tidak otomatis bisa membersihkan penegak hukum lain yang juga memiliki perilaku koruptif. Namun, hal itu harus dilakukan demi mewujudkan keadilan. Di sisi lain, yang paling penting adalah ketegasan dari pemimpin di negeri ini di semua lini. Jangan sampai pemimpin kalah dengan para koruptor.

Kepemimpinan Tegas

Pemberantasan korupsi butuh kepemimpinan. Kepemimpinan yang tegas, akan melahirkan sistem pemerintahan yang jujur, bersih, dan bebas dari tikus yang rakus. Karena tikus tak pernah kenyang menggarong uang negara.
Maka dari itu, di sisa kepemimpinannya, Presiden Yudhoyono harus mengubah kabinetnya, dan menunjuk seorang menteri koordinator bidang hukum dan hak asasi manusia, dan memilih figur yang bersih dan tegas untuk menjabatnya, yang akan memimpin pemberantasan korupsi dengan tegas. Selain itu, KPK harus tetap diperkuat, dan jangan diganggu.

Benang merah pemberantasan korupsi bukan sekadar dari sisi hukum saja. Akan tetapi, dibutuhkan kepemimpinan tegas dan cerdas dalam menuntaskan kasus korupsi. Jika pemimpin tegas dan cerdas, penulis yakin korupsi tak akan terjadi, begitu pula sebaliknya. Yang jelas, Indonesia membutuhkan kepemimpinan tegas mulai dari lingkup RT hingga presiden.

Hamidulloh Ibda
Wartawan Citanews.com,
Pengikrar Kaum Muda Antikorupsi,
Direktur Utama LAPMI TUNTAS Semarang, Jawa Tengah

Monday, January 28, 2013

Pahlawan Masyarakat

Kita tidak pernah kehabisan tinta untuk menuliskan tentang apa itu pahlawan, apalagi setahun sekali setiap 10 November kita setia memperingatinya. Kado berharga tahun ini adalah penganugerahan pahlawan nasional kepada dwi tunggal  Soekarno-Hatta.

Sulit untuk tidak mengakui bahwa pahlawan adalah sosok protagonis yang merupakan representasi simbolik dari seseorang yang memiliki pengalaman dari saat membaca, mendengarkan atau menonton peristiwa, sehingga relevansi pahlawan kepada individu kerap bergantung pada seberapa banyak kesamaan yang ada diantara mereka. Salah satu alasan mengapa pahlawan kerap hadir sebagai kisah interpretasi diri dan mitos akibat ketidakmampuan manusia melihat dunia dari sudut pandang apapun melainkan hanya satu pribadi.

Pada adegan dunia modern misalnya, Napoleon adalah pahlawan epik, bukan karena ia semacam dewa, atau tuhan, melainkan menurut Hegel, seorang filsuf Jerman, karena ia menempatkan dirinya di kepala peristiwa, terlibat intens dalam peristiwa, terhubung langsung kepada diri sendiri, dan sejarah diselesaikan olehnya. Akan tetapi faktanya ia juga seorang pahlawan yang tragis dan menyedihkan.

Dalam Ceramah Filsafat Sejarahnya, Hegel menyontohkan bahwa Julius Caesar tewas korban pembunuhan, Alexander Agung meninggal  oleh penaklukan dan Napoleon meninggal saat diasingkan di sebuah pulau. Ia juga menunjukkan bahwa tindakan pahlawan sejarah tidak selalu membawa mereka kepada kehormatan atau rasa syukur dari jamannya.

Mengapa sebagian para pahlawan memiliki takdir yang mengenaskan? Pertama, bisa jadi pahlawan dalam arti sejarah, hanya instrumen yang mutlak. Jika dia hanya instrumen absolut, maka dia hanyalah korban dari keharusan sejarah: Napoleon binasa karena ia hanya memainkan peranan yang unik dan sementara pada adegan sejarah. Kitapun tidak lupa kisah Soekarno salah satu pendiri republik ini yang diakhir hidupnya “diasingkan” oleh rezim Orde Baru.

Kedua, sejarah tidak bisa terulang: keberhasilan pahlawan dalam satuan peristiwa sulit untuk dipercayai keberhasilannya kembali dalam episode yang lain. Pendeknya, pahlawan memang memiliki seribu wajah untuk dituliskan, didefinisikan, dipercakapkan bahkan digugat keberadaannya.

Selain itu kisah pahlawan memang kerap diskriminatif. Ia milik segelintir kelompok elit sejarah. Karenanya sejarah kerap dituliskan untuk “orang-orang besar” melalui tindakan yang besar. Sejarah jarang mengabarkan seorang yang biasa-biasa saja melalui tindakan dan perjuangan yang luar biasa. Yang terakhir ini mulai diadopsi oleh institusi sebagai koreksi atas definisi pahlawan yang baku dan rigid oleh negara.

Joseph Champbell mempunyai definisi tentang pahlawan, yang hampir pasti akan diamini sebagian  orang, “A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself”. Dalam hal ini Joseph Champbell bisa jadi benar, ketika kita merasa hidup di sebuah zaman dimana kepentingan orang lain menjadi catatan nomor kesekian dalam hidup kita. Dan dalam setiap catatan itu, semuanya hampir memusat pada diri kita sendiri.

Agaknya hal ini jugalah yang mengilhami panitia penganugerahan “award” katagori apapun yang terserak di negeri ini untuk mencari sosok yang dianggap dapat mewakili “citra ideal” manusia kelompok, institusi yang makin langka di zaman ini.

Mencari sosok yang tidak genit dengan urusan diri sendiri, apalagi dengan catatan tambahan yang kepeduliannya dianggap melampaui batas rata-rata manusia pada umumnya bukanlah perkara mudah. Masalahnya selama ini kita disuguhkan dengan kebisingan informasi yang memuat keburukan ketimbang kebaikan. Tentang pamrih daripada ketulusan hati, menghargai hasil instan dibanding kerja keras.

Media banyak mengabarkan tentang hal itu secara telanjang.
Jika kita semua hampir jemu meneriakkan rasa muak, geram, dan tak sabar kepada banyak urusan di negeri ini, maka di luar sana ada sekelompok manusia –tanpa teriakkan- bahkan bergumam pun-melakuan sesuatu bagi sekelilingnya tanpa peduli apakah cukup terdengar atau tidak. Tidak peduli apakah akan menarik perhatian orang ramai atau bahkan dukungan. Bagi mereka kerja konkrit sudah masalah tersendiri.

Dalam umur 30-an ini bidan Rosita yang bertugas di Kampung Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, yang berbatasan langsung dengan suku Baduy, mungkin sosok yang cocok dengan katagori Joseph Champbell tadi: seseorang yang telah memberikan hidupnya untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Kita tentu mengenal baik suku Baduy yang memiliki mitologi dan aturan adat yang syarat oleh pantangan. Ketertutupan mereka akan lingkungan luar untuk menjaga adat leluhur mereka, tercermin pula melalui penolakan terhadap pengetahuan kesehatan modern. Wilayah ini meliputi tanah ulayat suku Baduy yang mencapai 5.185 hektare mencakup 59 kampung, terdiri dari 3 kampung Baduy Dalam (Cibeo/Cikesik dan Cikartawanta) dan 56 kampung Baduy luar yang ditempuhnya melalui jalan kaki dengan konstur tanah yang curam. Di sanalah bidan Rosita bekerja.

Pendekatan yang ia lakukan beyond seorang bidan, bak antropolog sejati, ia langsung masuk ke denyut peradaban suku baduy dan belajar mendengarkan mereka dengan sabar. Keuletan, ketulusan, dan kerja kerasnya selama 17 tahun memang tidak sia-sia. Ia meraup kepercayaan dan penerimaaan yang hangat dari masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar. Sesuatu yang tidak mudah untuk didapatkan.
Bahkan Ros satu-satunya bidan yang rekomendasinya diminta oleh suku Baduy Dalam dan Baduy Luar ketika berurusan dengan kesehatan. Bidan yang bersahaja ini tidak pernah  mempersoalkan berapa rupiah imbalan yang diterimanya. Bahkan penghasilan suaminya sebagai guru juga banyak menyokong untuk membeli obatbagi pasiennya.

Selain Bidan Ros, Indonesia juga memiliki Datuak Pirak dari Nagari Bais, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Mantan kepala desa ini berhasil menggerakkan rakyatnya untuk menanam kemiri di lahan-lahan kritis daerahnya. Bahkan hal ini menjadi persyaratan wajib bagi setiap orang yang menikah untuk menanam 25 pohon kemiri. Hal ini berlangsung sejak  tahun 1976 hingga ia tidak menjabat lagi kini.

Keberlangsungan program ini tidak saja menjadikan lahan kritis di daerahnya berganti dengan rimbunnya pohon kemiri, juga kesejahteraan masyarakat jadi meningkat. Bidan Rosita dan Datuak Pirak hanyalah satu sosok di antara banyak sosok yang ingin kita jumpai dan kenali. Persona yang tahu apa arti tanggung jawab kerja, sangat mengerti tentang kebutuhan orang lain, dan paham bahwa  melalui kerja keras dan ketulusan, semuanya dapat diwujudkan.

Para pahlawan masyarakat ini seakan mengingatkan kepada kita semua bahwa “pelayan publik” haruslah memberikan yang terbaik dari yang di milikinya. Agar kerja menjadi begitu bermakna bahwa kerja bukanlah sekadar ritual yang harus dijalankan dengan indikator kewajiban semata. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang akan dihasilkan dari sebuah mesin kewajiban yang sangat teknis mekanistik itu?

Kita lupa ada unsur proses “memanusiakan” jiwa didalamnya. Bidan Ros dan Datuak Pirak menunjukkan kepada kita bahwa proses kerja adalah bagian yang tidak pernah terpisahkan dari unsur  kepedulian, ketulusan, pengabdian, dan ketidakpamrihan. Kita tak terlalu sadar selama ini bahwa tiap proses yang terjadi adalah bagian dari sisi kemanusiaan kita yang terbatas dan tergantung. Kita mungkin perlu risau dengan pandangan yang menjauhkan kita dari proses memanusiakan diri ini, dan  menggugat kepada pelayan publik yang meletakkan kerja sekadar sebagai kewajiban yang harus dijalankan  

Jaleswari Pramodhawardani
Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI

Kondom, Remaja dan Politik

Penyakit menular seksual dapat menular kepada siapa pun juga yang tidak berhati-hati. Tidak peduli yang “alim” maupun yang “mursal”. Yang tua maupun yang muda. Mereka yang “alim” dapat saja rajin ke gereja atau masjid, tetapi ketika godaan datang bisa saja mereka lengah dan mencari kepuasan seksual dengan mereka yang mengidap penyakit. Mereka yang terkena, kemudian memunyai potensi menularkan penyakitnya itu ke orang lain yang semula sehat. Penyakit menular seksual akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas seksual masyarakat.

Penelitian epidemiologis yang serius mengenai penjalaran penyakit menular seksual (PMS) ini di Indonesia belum pernah dilakukan. Seandainya pernah dilakukan, hasilnya tidak pernah diumumkan. Disimpan di arsip fakultas atau kementerian kesehatan, hanya sebagai arsip. Tidak pula digunakan untuk menyusun strategi atau program penanggulangannya.

Mungkin saja Kementerian Kesehatan mempunyai data seperti itu dan berkesimpulan bahwa cara penanggulangan penyebaran PMS yang perlu mendapat perhatian adalah menganjurkan mereka yang kehidupan seksualnya aktif agar memakai kondom, seperti pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi baru-baru ini. Pernyataan yang membuat banyak orang terkejut-kejut.

Beberapa puluh tahun yang lalu ada laporan penelitian dari sebuah institusi kesehatan di Jawa Timur (saya mencoba mencari arsipnya belum ketemu), yang mengungkapkan bahwa lebih dari 30 persen ibu hamil yang memeriksakan diri ke institusi tersebut ternyata menderita infeksi Chlamydia, sejenis penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Dari mana mereka ketularan? Tentu dari suami-suami mereka yang tidak berhati-hati ketika melakukan hubungan seks dengan orang lain yang mengidap penyakit tersebut. Sayangnya, penelitian itu berhenti sebatas penelitian. Tidak diikuti dengan program untuk pengobatan dan pencegahan yang lebih luas.

Kini masalah menjadi lebih mencemaskan dengan adanya HIV yang juga menular, terutama melalui hubungan seks. Berbeda dengan PMS yang lain, infeksi HIV dapat berujung menjadi AIDS yang mematikan. Berbeda dengan PMS yang lain, infeksi HIV tidak menimbulkan gejala yang akan membuat pengidapnya mencari pertolongan dokter. Mereka akan tetap mampu melakukan aktivitas hidup seperti biasa tanpa gangguan atau keluhan. Ini membuat mereka akan berpotensi menularkan ke orang lain. Celakanya lagi, infeksi HIV ini sudah dibebani stigma, seolah-olah hanya para pendosa yang terkena infeksi. Akibatnya mereka yang terinfeksi, seandainya pun tahu, akan  memilih bersembunyi, dan terus menularkan virusnya ke orang lain, termasuk isteri mereka di rumah.

Tetapi mengapa Menteri Kesehatan menganjurkan remaja memakai kondom, sehingga seolah-olah kondom merupakan satu-satunya solusi untuk mencegah PMS? Bukankah itu sama dengan menganjurkan remaja untuk melakukan hubungan seks? Tuduhan ini bernuansa pemelintiran berita. Rasanya tidak mungkin Menteri Nafsiah Mboi yang sudah lama bergelut dengan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan mengatakan begitu. Di seluruh dunia konsep pencegahan infeksi HIV melalui urutan A (abstinence), B (be faithful), C (condom) masih berlaku. Kondom hanya dianjurkan ketika orang tidak dapat memenuhi anjuran A dan B. Bahwa remaja perlu mendapat perhatian juga tidak keliru.

Remaja adalah usia ketika pertumbuhan biologis, termasuk seksualitas, sedang meninggi. Tetapi di sisi lain secara sosial dan psikologis dianggap belum matang. Usia ketika semangat berpetualang mencari pengalaman dan menantang risiko sangat besar. Termasuk dorongan untuk mencari pengalaman dalam hubungan seks. Semua itu mencerminkan pertumbuhan yang normal. Justru menjadi tidak normal jika ada remaja yang tidak mengalami pertumbuhan seperti itu.

Tetapi dorongan untuk berani melakukan hubungan seks bukan terjadi karena ada kondom. Dorongan itu lebih disebabkan oleh khayalan kenikmatan yang “diperkuat” oleh bacaan dan tontonan yang memacu birahi serta adanya peluang. Ada atau tidak ada kondom, mereka akan melakukannya kalau ada peluang, dan peluang itu sekarang semakin bertambah besar akibat perubahan sosial.

Di sisi lain, selama ini rayuan kenikmatan oleh bacaan dan tontonan yang memacu birahi tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang risiko buruk dari hubungan seks. Sehingga seperti juga kita mengajari anak tentang pisau, yang dapat bermanfaat tetapi dapat membahayakan. Dengan mengetahui bahaya penggunaan pisau yang salah, anak-anak kita akan lebih berhati-hati. Pendidikan tentang seksualitas, atau pendidikan kesehatan reproduksi, adalah untuk menjelaskan segi-segi risiko hubungan seks, sehingga mereka dapat memilih secara bertanggung jawab ketika mengalami dorongan untuk melakukan hubungan seks. Tetapi anehnya, pendidikan kesehatan reproduksi inipun ditentang oleh mereka yang “moralis”, tanpa mengetahui apa sebenarnya isi pendidikan tersebut.

Kondom adalah salah satu cara efektif untuk menghindari risiko buruk akibat hubugan seks, bagi mereka yang tidak dapat lagi bertahan pada anjuran A dan B. Seandainya saja semua remaja (dan orang tua juga) bisa bertahan untuk mengikuti anjuran A dan B, anjuran C (kondom) tidak perlu lagi. Dan penjalaran PMS tidak akan terjadi. Bahwa dalam kenyataan PMS, termasuk HIV masih terus bertambah,mengindikasikan bahwa masih banyak orang yang tidak bisa bertahan pada A dan B. Kepada mereka itulah dianjurkan untuk menggunakan kondom.

Kini tokoh-tokoh politik sudah mulai memanfaatkan ungkapan Menteri Kesehatan tentang kondom ini untuk, tentu saja, tujuan politis. Mengecam tetapi tidak memberikan solusi alternatif. Mereka yang “moralis” hanya berpegang pada satu solusi: pendidikan agama. Seolah-olah hanya dengan pendidikan agama, semua akan selesai.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan agama secara teoretis akan mencegah berbagai perilaku maksiat. Bukan hanya perilaku seks tetapi juga korupsi, perampokan, maling, dan sebagainya. Tetapi kenyataan dalam dunia ini tidak seideal itu. Pembuatan kitab suci pun dikorupsi. Lha kalau orang yang mengetahui, dan jelas mendapat, pendidikan agama saja masih korupsi, merampok, atau berperilaklu seksual yang menyimpang, apa pula yang belum setaraf mereka. Sementara itu penyakit menular seksual akan terus merayap menggerogoti pemuda dan keluarga Indonesia. Isteri-isteri di rumah tidak dapat menolak ketika ditulari oleh suaminya.

Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Saturday, January 5, 2013

Usaha Sablon Kaos, Modalnya Ringan Untungnya Besar


kaos sablon 200x179 Usaha Sablon Kaos, Modalnya Ringan Untungnya Besar"Menjadi seorang mahasiswa, tentunya tidak menutup peluang Anda untuk bisa merintis sebuah usaha. Misalnya saja dengan memulai usaha sablon kaos secara manual."Menjadi seorang mahasiswa, tentunya tidak menutup peluang bagi Anda untuk bisa merintis sebuah usaha. Berbagai macam peluang bisnis sampingan bisa Anda jalankan untuk mendatangkan untung besar setiap bulannya. Contohnya saja seperti usaha sablon kaos yang bisa Anda mulai dengan modal ringan dan mendatangkan keuntungan yang cukup besar.
Konsumen
Dalam menjalankan bisnis usaha sablon kaos, bisa dikatakan target pasar yang bisa Anda bidik tidak terbatas. Mulai dari konsumen individu yang ingin membuat kaos satuan dengan desain yang tidak pasaran, menerima pesanan massal seperti untuk seragam perusahaan, seragam panitia acara tertentu, seragam organisasi tertentu (unit kegiatan mahasiswa, karang taruna, remaja masjid, dan lain sebagainya), serta bisa juga menjalin kerjasama dengan para pelaku bisnis distro untuk mensuplay produk kaos unik di lapak dagang yang mereka miliki.

Info Bisnis

Perkembangan bisnis fashion yang ditandai dengan maraknya pertumbuhan factory outlet maupun usaha distro di seluruh penjuru nusantara, ternyata menjadi salah satu pemicu meningkatnya permintaan jasa sablon di kalangan masyarakat. Ramainya permintaan pasar dan besarnya prospek bisnis yang dijanjikan, membuat sebagian besar orang mulai tertarik menekuni usaha sablon, baik itu sablon manual ataupun dengan menggunakan sistem sablon digital yang belakangan ini mulai diperkenalkan para pelaku usaha.
Untuk membantu para mahasiswa yang tertarik terjun di dunia usaha. Pada kesempatan kali ini akan kami informasikan peluang usaha sablon kaos manual yang bisa dimulai dengan modal ringan, namun keuntungan yang didapatkan tidak kalah besar dengan sistem sablon digital. Lalu, kira-kira persiapan apa saja yang dibutuhkan para pemula dalam menjalankan usaha sablon kaos modalnya ringan untungnya besar?
Berikut kami informasikan cara sablon manual (screen printing) yang bisa Anda coba dengan mudah.
1. Proses Afdruk
Proses ini dilakukan sebelum mencetak gambar atau desain diatas screen. Tujuannya, agar ketika kita menyapu tinta cetak yang dituangkan diatas screen, maka tinta yang akan turun hanya sebatas pola atau bentuk desain yang telah kita buat. Prosesnya tidak terlalu rumit, antara lain sebagai berikut :
  • Bersihkan screen dengan air dan sabun colek/krim, kemudian bersihkan dengan kain spon.  Selanjutnya keringkan dengan bantuan sinar matahari (posisi screen berdiri), hal ini perlu dilakukan agar kondisi screen benar-benar kering dan bersih.
  • Langkah berikutnya oleskan obat afdruk/ stencil/ photo emulsion screen secukupnya ke bagian depan dan belakang screen (bisa menggunakan Rakel/ penggaris/ coater/ kuas cat agar hasilnya tidak terlalu tebal. Keringkan dengan diangin-angin menggunakan kipas angin atau blower, dan usahakan berada di tempat yang tidak terkena cahaya matahari.
  • Siapkan film sablon yang telah dibuat dan rekatkan pada screen yang telah siap di posisi yang anda inginkan. Dalam proses tersebut ada dua langkah yang bisa Anda pilih, yaitu menggunakan penyinaran matahari atau bisa juga dengan cahaya buatan yang berasal dari lampu neon. Urutan untuk penyinaran dengan matahari bisa dilakukan seperti berikut : kaca, film, screen, bantal dengan kain hitam, papan. Sedangkan dengan Lampu neon 2×40 watt, urutannya sama tetapi  tidak menggunakan kaca (karena biasanya sudah menggukanan meja afdruk).
  • Setelah proses penyinaran, maka image/ bentuk yang anda inginkan akan terlihat di atas screen yang telah diberi obat afdruk tersebut. Terakhir, rontokkan obat afdruk yang masih menutupi image/ bentuk yang anda inginkan, dan segera siram dengan air bertekanan tinggi atau benamkan dalam air untuk merontokkan obat afdruk yang tersisa.
2. Proses Penyablonan
Pada tahapan penyablonan ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan :
  • Pertama-tama, plester pinggiran gambar yang akan disablon agar cat tidak mengalir kemana-mana.
  • Lalu, letakkan pasta warna/ rubber putih yang sudah dicampur dengan pigment/ warna yang Anda inginkan.
  • Sebelumnya, gunakan papan triplex pada bagian dalam kaos agar cat tidak tembus ke bagian belakang.
  • Gunakan rakel (alat sapu terbuat dari karet sintetis) untuk menyapu cat. Kemudian keringkan kaos yang telah disablon.
3. Proses Penghapusan Film
Setelah semua proses sabon selesai, selanjutnya bersihkan screen dengan dicuci menggunakan air yang dituangi obat pencuci screen. Gosok screen dengan kain spon, bilas dengan air bersih dan keringkan dengan bantuan sinar matahari.
Kelebihan Bisnisusaha sablon 200x134 Usaha Sablon Kaos, Modalnya Ringan Untungnya Besar
Tidak seperti bisnis sablon digital yang membutuhkan bantuan mesin dengan harga yang cukup mahal, usaha sablon manual bisa Anda jalankan dengan menggunakan peralatan sederhana dan bisa dimulai dengan modal usaha yang tidak terlalu besar. Selain itu, tingginya kecintaan masyarakat terhadap produk kaos, menjadikan bisnis sablon ini memiliki prospek pasar yang masih sangat bagus. Tidak heran bila sekarang ini banyak orang yang menganggap prospek usaha sablon ini sebagai salah satu bisnis jangka panjang yang tetap akan dibutuhkan untuk mendukung perkembangan bisnis fashion di Indonesia.
Kekurangan Bisnis
Ketatnya persaingan pasar sering kali menghadirkan sebuah kendala bagi para pelaku usaha jasa sablon. Bahkan bisa dikatakan sekarang ini persaingan yang dihadapi tidak hanya dari sesama pelaku bisnis sablon manual, namun juga dari gempuran persaingan bisnis para pelaku usaha sablon digital yang belakangan ini mulai menawarkan inovasi-inovasi baru kepada para calon konsumen. Untuk itu, sebagai pelaku bisnis sablon manual tentunya Anda harus pintar-pintar memilih strategi pemasaran dan berusaha memberikan nilai lebih kepada para pelanggan Anda.

Strategi Pemasaran

Strategi pemasaran tentunya memegang peranan yang cukup penting dalam mengembangkan usaha sablon kaos. Karenanya, perluas relasi bisnis yang Anda miliki dan promosikan keunggulan produk yang Anda produksi. Misalnya saja menjalin kerjasama dengan pemilik butik ataupun distro-distro untuk menitipkan dagangan kaos yang Anda produksi, menawarkan jasa Anda kepada beberapa perusahaan, event organizer, ataupun organisasi kemahasiswaan maupun umum, yang tertarik untuk membuat sebuah kaos seragam. Selain membidik konsumen massal, Anda juga bisa menjaring konsumen individu dengan menawarkan jasa sablon kaos satuan maupun kaos couple (pasangan) yang belakangan ini mulai digemari kalangan anak muda di Indonesia.
Selanjutnya, untuk memperkenalkan bisnis sablon Anda kepada khalayak ramai. Anda bisa menggunakan strategi promosi online maupun offline untuk menginformasikan bisnis tersebut kepada masyarakat luas. Contohnya saja dengan membuat website di dunia maya, mempromosikan produk kaos Anda di situs jejaring sosial, membuka koneksi di forum-forum online yang cukup terkenal, serta membuka lapak dagang di forum jual beli (FJB) untuk mempromosikan bisnis Anda di pasar global. Sedangkan untuk promosi offline, Anda bisa memulainya dengan membagikan brosur kepada masyarakat sekitar, serta bisa juga membuat neon box atau spanduk besar yang bertuliskan nama usaha Anda dan pelayanan jasa sablon yang Anda tawarkan, kemudian dipasang di depan lokasi bisnis yang Anda miliki.
Kunci sukses
Yang terpenting dalam menjalankan bisnis sablon kaos secara manual adalah menjaga kulitas hasil kerja dan kualitas bahan kaos yang digunakan. Hal ini penting, mengingat baik buruknya pencitraan bisnis yang Anda miliki akan terbangun dari kualitas produk yang ditawarkan kepada para konsumen. Selanjutnya,  peningkatan kualitas tersebut tentunya juga harus disertai dengan peningkatan masalah kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pelayanan. Usahakan kualitas hasil kerja yang diberikan sangat bagus dan proses pengerjaannya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama.
Analisa Ekonomi
Proses sablon dilakukan secara manual (screen printing).
Dikerjakan di rumah kontrakan dengan biaya sewa Rp 5.000.000,00

Modal awal
Sewa tempat per tahun                             Rp 5.000.000,00
Peralatan sablon (screen, rakel, kaca, kuas, dll) Rp 2.000.000,00
Bahan baku sablon (obat afdruk, cat, dll)         Rp   750.000,00
Bahan baku kaos (@ Rp 22.000,00 x 40 pcs)         Rp   880.000,00+
Total                                             Rp 8.630.000,00

Peralatan mengalami penyusutan setelah digunakan selama 2 tahun :
= 1/24 bln x Rp 2.000.000,00             Rp 83.300,00

Biaya operasional
Stok bahan baku sablon selama 1 bulan              Rp   750.000,00
Bahan baku kaos (@ Rp 22.000,00 x 80 pcs)          Rp 1.760.000,00
Gaji tenaga kerja 1 orang                          Rp   750.000,00
Biaya sewa tempat/ bulan Rp 5.000.000.00 : 12 bln  Rp   416.700,00
Biaya listrik dan telepon                          Rp   450.000,00
Biaya transport dan promosi                        Rp   600.000,00
Biaya penyusutan                                   Rp    83.300,00+
Total                                              Rp 4.810.000,00

Omset per bulan
Penjualan kaos per bulan :
@ Rp 75.000,00 x 80 pcs                 =          Rp 6.000.000,00

Laba bersih per bulan
Rp 6.000.000,00 - Rp 4.810.000,00       =          Rp 1.190.000,00

ROI (Return of Investment)             
(Modal awal : laba bersih per bulan)    =          ± 7 bulan
Semoga informasi peluang bisnis mahasiswa yang kami angkat pada pekan ini bisa memberikan sedikit manfaat bagi para pembaca dan menjadi salah satu inspirasi bisnis bagi Anda guna mendatangkan untung besar setiap bulannya. Mulailah dari yang kecil, mulailah dari yang mudah, mulailah dari sekarang. Salam sukses.
Sumber : http://bisnisukm.com/usaha-sablon-kaos-modalnya-ringan-untungnya-besar.html

Tuesday, January 1, 2013

Mengintip Keuangan Partai Politik Kita

Oleh : Ully Chintya
Mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya
ullychintya@gmail.com
TOPIK keungan partai, wacana menarik dalam mengkaji transparansi keuangan partai politik dan memetakan isu keuangan partai politik lewat seminar nasional Senin (10/12) silam di Rumah Sakit Pusat Penyakit Tropis Kampus C Unair. Mengangkat tema Mengkaji Keuangan Partai Politik, Mencari Gagasan Alternatif, seminar dihajat mahasiswa program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Unair itu menghadirkan Mendagri Gamawan Fauzi, Idrus Marham (Sekjen Partai Golkar), Ferry M Baldan (DPP Partai Nasdem), Hasto Kristiyanto (Wasekjen DPP PDIP), Ikhsan Modjo (DPP Partai Demokrat). Ada juga Sigit Pamungkas (KPU), Danang Widoyoko (ICW), Sidik Pramono (jurnalis), Ari Dwipayana (UGM), Prof Kacung Marijan (Unair), dan Dwi Windyastuti (Wakil Dekan FISIP Unair).

Secara umum partai politik (parpol) tidak lepas dari yang namanya biaya partai. Namun faktor pembiayaan parpol ini bukan menjadi satu-satunya kekuatan partai. Berbeda dengan negara-negara maju lainnya yang mana letak kekuatannya terletak pada parpol itu sendiri.

Berbicara keuangan partai, ada dua macam keuangan partai, pertama, party finance yaitu keuangan yang dihimpun dan dipergunakan untuk kegiatan parpol. Kedua, campaign finance, keuangan partai yang dihimpun dan digunakan untuk masa kampanye. Kedua penerimaan keuangan partai ini setidaknya harus sebanding dengan besaran dana yang dibutuhkan parpol.

Sumber dari keuangan partai itu diperoleh dari berbagai sumber, yakni iuran anggota, sumbangan, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Sumbangan ini dapat berasal dari perseorangan anggota parpol, perseorangan bukan anggota parpol maksimal Rp 1 milir per tahun, dan perusahaan dan/atau badan usaha maksimal Rp 7,5 miliar per tahun. Sumber lain adalah bantuan APBN/APBD diberikan secara proporsional untuk parpol yang meraih kursi di DPR/DPR berdasar jumlah perolehan suara. Dana ini dipergunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik bagi anggota partai maupun masyarakat juga dan kegiatan operasional partai.

Realitasnya sumber penerimaan parpolk itu tak sekadar dari tiga sumber yang disebutkan di atas tetapi ada juga penerimaan dana lain, salah satunya dari sumbangan dari pengusaha swasta yang berkepentingan, potongan gaji kader di legislative/eksekutif dan masih banyak lagi.

Parpol di Indonesia sekadar fokus pada manajemen keuangan parpol. Hal ini tidak terjadi di parpol-parpol di negara-negara lain. Amerika dan Inggris misalnya, tata kelola parpol berpijak pada platform yang dilandasi kebutuhan utama masyarakat dan apa yang diinginkan masyarakat, bukan berpijak pada tata kelola keuangan parpol. Karena itu perlu kebijakan untuk menyehatkan proses demokrasi melalui berbagai bentuk reformasi pembiayaan partai yang meliputi; reformasi sumber pendanaan partai, reformasi pengelolaankeuangan partaiyang transparan dan akuntabel, dan terakhir reformasi pengeluaran partai.

Kunci dari suksesnya proses demokrasi salah satunya adalah dengan transformasi manajemen keuangan parpol yang lebih baik yang menitikberatkan pada transparansi dan akuntabilitas.

ISLAM DAN DEMOKRATISASI: Studi atas Dasar Ideal, Pemikiran dan Realitas-Empirik Islam

ISLAM DAN DEMOKRATISASI:
Studi atas Dasar Ideal, Pemikiran dan Realitas-Empirik Islam
Oleh: M. Alfatih Suryadilaga

I. PENDAHULUAN
Respon umat Islam dan dunia Islam terhadap berbagai isu-isu penting yang berkembang di dunia modern sangat beragam.[1] Setidaknya, dalam wacana pemikiran Islam terdapat tiga grand pemikiran, menerima, menolak dan mengakomodasi.[2] Namun, wacana yang demikian di dalam realitas-empirik menunjukkan suatu yang berbeda. Bagi mereka yang dianggap menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan keseharian cenderung tidak merespon isu-isu tersebut dengan bijaksana.[3] Sementara, di sisi lain terdapat suatu fenomena sebaliknya.
Demokratisasi[4] sebagai salah satu wacana yang hadir dalam konteks  modern telah menjadi suatu yang melebihi dari jati dirinya yang asli. Seolah-olah demokratisasi merupakan sesuatu yang universal. [5] Ia lahir tidak kedap dari nuansa sosio-historis.[6] Namun, keberadaannya sering diimpor dan dipaksakan untuk diaktualisasikan dan diterapkan di berbagai negara-negara lain yang memiliki tradisi dan budaya yang berbeda dengan tempat di mana lahirnya demokrasi. Dengan demikian, habitat yang berbeda memunculkan keragaman dalam mersespon isu  demokrasi.
Makalah ini akan mengkaji masalah Islam dan demokratisasi, dua sisi yang berbeda. Bagaimana keberadan demokrasi dengan Islam? dan bagaimana hambatan dan tantangan aplikasi demokratisasi di beberapa dunia Islam. Pembahasan yang dilakukan adalah pengertian demokratisasi, berbabagi sisi Islam yang menjadi nafas demokrasi, asal-usul dan perkembangan serta pengaruhnya dalam bidang kehidupan kenegaraan dalam konteks kekinian, seperti kasus negara Pakistan sebagai wakil dunia Islam -walaupun dalam hal ini tidak dapat dipresentasikan secara general sebagai negara Islam- untuk mempermudah melihat aplikasi demokrasi secara nyata dan dalam kasus-kasus tertentu. Kajian tersebut dilakukan dalam bingkai dasar ideal, pemikiran dan realitas empirik yang terjadi di dunia Islam.
II.  BERBAGAI PENGERTIAN DAN VARIANT TEORI-TEORI
Demokratisasi bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Eropa dan Amerika. Mereka sudah lama mengenalnya. Nenek moyang mereka sudah dengan sadar mengaplikasikan konsep baru dalam pemerintahan. Setidaknya dapat dijumpai di masyakarat Athena, kota kecil di Yunani. Peristiwa tersebut terjadi di masa pemimpinan Pericles.[7] Namun, patut disayangkan kesempatan  hanya diberikan kepada kaum Adam (laki-laki) an sich. Kaum wanita, budak dan orang-orang asing dikesualikan. Demokrasi yang berjalan di Athena ini berjalan sampai 200 tahun. [8] Dari sejarah panjang inilah kemudian demokrasi berkembang dan sekarang menjadi suatu yang universal dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia ini.
Perkembangan demokrasi sejalan dengan perkembangan umat manusia dan telah melahirkan berbagai macam tokoh dan pemikir yang handal. Pemikiran dan aplikasi teoritis dalam kancah pemerintahan sudah lama terbukti dan teruji secara baik dan mengesankan. [9] Walaupun demikian, dalam kapasitas tertentu lebel-label atau simbol tersebut perlu dipertanyakan eksistensi dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat dunia dalam skala makro maupun mikro.
Pengalaman-pengalaman yang beraneka ragam dan tidak berdimensi satu membuat makna, ciri dan tinjauan-tinjauan yang berhubungan dengan demokratisasi menjadi suatu yang beragam. Kenyataan ini juga didukung oleh fenomena sosial dari ilmu politik yang memayungi kajian demokratisasi dan yang berhubungan dengannya. Oleh karena itu, setiap negara dan kawasan memilki banyak ragam dalam merespon demokratisasi dalam kancah perpolitikan mereka. Ada negara  yang sudah mampu dan mapan dalam menerapkannya dan ada juga yang masih belajar dengan tertatih-tatih tanpa membuahkan hasil yang memadai dan memberikan perubahan yang cukup berarti.
Pemahaman tentang demokratisasi dapat dilakukan secara utuh jika dapat dilakukan kajian yang mendalam tentang substansi dari demokratisasi dan hal-hal lain yang mendukungnya. Pengalaman dan aplikasi berbagai negara dapat dijadikan sebagai variant model yang muncul mengiringi paket demokratisasi, yang dapat disebut sebagai upaya kreatif masing-masing negara dalam merespon isu demokratisasi. Upaya kreatif tersebut tidak dianggap sebagai sebuah reduksi dalam memahami dan mencerna isu penting tersebut. Namun, aplikasi demokratisasi akan dapat bermakna bagi negara-negara lain jika disesuaikan dengan kondisi sosial-politik dan sosial-budaya masyarakat setempat. Tentu, ada beberapa hal yang sesuai dengan kondisi tertentu dari negara dan tidak cocok bagi negara lain.
Demokrasi tersusun dari dua kata “demos” berarti “people”dan “kratos” berarti rule or authority” (bahasa Greek, Yunani);  yang berarti pemerintahan oleh rakyat (rule or authority by the people) di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan secara langsung maupun melalui perwakilan  di bawah sistem pemilihan yang bebas. Istilah tersebut menurut Abraham Lincoln didefenisikan sebagai goverment of the people, by the people, for the people atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. [10] Dari pengertian sederhana tersebut jelas bahwa demokrasi menginginkan pemerintahan diselenggarakan secara terbuka dan rakyat diberi kesempatan dalam memerintah.
Demokrasi dan kebebasan sering digunakan secara timbal balik. Namun keduanya tidak sama atau berbeda. Demokrasi merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan dan juga seperangkat praktek dan prosedur tertentu melalui sejarah panjangnya yang berliku-liku. Oleh karena itu, demokrasi sering diartikan sebagai sebuah pelembagaan kebebasan.
Banyak pemikir yang brusaha memberikan pemaparan mengenai ciri-ciri dari demokratisasi. Robert A. Dahl mengungkapkan bahwa sebuah rezim dianggap demokratis jika memilki tiga ciri, (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas, (2) mengembangkan pola politik yang kompetitif  dan (3) memberi perlindungan kebebasan masyarakat.[11] Sedangkan, W. Ross Yates mengungkapkan enam ciri. Ciri demokratisasi adalah toleransi terhadap yang lain, perasaan fairplay, optimisme terhadap hakekat manusia, persamaan kesempatan, orang yang terdidik, jaminan hidup,  kebebasan dan milik.[12] Telah terjadi perubahan dalam pemikiran tentang hal ini.
Berbagai pandangan baru yang bersinggungan dengan teori-teori Marxis yang berupaya memberikan porsi lebih terhadap kebebasan manusia juga bermunculan. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh new left dan new right. Mereka ini berpandangan bahwa demokratisasi haruslah memiliki ciri-ciri penciptaan suasan yang terbaik agar setiap orang dapat berkembang sesuai bakat dan keahliannya masing-masing. Di samping itu, manusia juga diberi hak-hak perlindungan dan penggunaan sewenang-wenang otoritas politik dan kekuasaan. Demikian juga, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, mereka memberikan catatan tambahan tentang ciri demokratisasi yaitu haruslah mampu memberikan keterlibatan yang sama di antara warga negara dalam bidang politik dan ekonomi yang dapat mensejahterakan mereka. [13]
Ternyata dari dua ciri-ciri demokratisasi yang disebut di atas dapat dikatakan bahwa demokratisasi mengalami berbagai bentuk dan tujuan yang dikaitkan dengan perbedaan mereka dalam memahami (subyektif) dan dengan obyek yang berbeda pula. Untuk membuktikan kesimpulan tersebut, dapat diungkap di sini bahwa terdapat pemikiran yang menitikberatkan pada eksisstensi lembaga eksekutif. Ted Robert Gurr. [14] Demikian juga terhadap pemikiran Mitchell dan Simmons yang mengrahkan pada pilihan publik[15] dan John Rawl yang mengutamakan aspek hukum.[16]
Berbagai dimensi dan tara pandang terhadap demokratisasi di atas juga berimplikasi terhadap banyak ragamnya demokrasi yang ada. Demokrasi perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi yang populer dan sering diterapkan demokrasi negara-negara  maju. Walaupun demikian, demokrasi perwakilan bukan satu-satunya bentuk demokrasi. Dalam istilah demokratisasi setidaknya mengenal banyak ragam demokrasi antara lain demokratisasi protektif, pembangunan, keseimbangan dan partisiparis. [17] Demokrasi sisi lain, Sklar menunjuk lima bentuk demokrasi, yaitu demokratisasi liberal, terpimpin, sosial, partsisipasi, dan consociational. [18]
Dari uraian demokrasi atas dapat dikatakan bahwa demokratisasi dapat berjalan dengan baik jika prasyarat tertentu dipenuhi. Demokrasi kalangan para pakar telah terjadi immak bahwa demokrasi hanya kondusif demokrasi negara maju dan demokrasi lingkungan negara kapitalis saja.[19] Sedangkan demokrasi negara yang berkembang atau terbelakang cenderung pelaksanaan demokratisasi tidak berjalan baik dan bahkan tidak berjalan sama sekali. Salah satu faktornya adalah kebutuhan biologis masyarakat belum sepenuhnya terpenuhi. Oleh karena itu, mereka tidak banyak memikirkan hal-hal lain yang mendasar dan luas bagi kelagsungan kehidupan mereka dalam kancah perpolitikan. Mereka hanya cukup untuk mendapatkan seusap nasi guna mendapati kelangsungan hidup mereka dan yang terpenting perut tidak kosong.
Substansi demokrasi yang berkembang dalam berbagai teori dan telaahan pemikir dapat disimpulkan dalam tiga agenda dasar yaitu:  hak politik yang berkaitan erat dengan hubungan negara  dengan masyarakat, hak sipil (demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi) yang berhubungan dengan hubungan elite dengan massa, dan hak aktualisasi diri (demokrasi budaya dan demokrasi agama) yang berhubungan dengan warga negara dengan negara dan warga negara dengan sesamanya.
Dari uraian tentang demokrasi di atas, jelas bahwa demokrasi memilki pilar-pilar uatama yang merupakan soko gurunya. Di antara pilar-pilar demokratisasi adalah kedaulatan rakyat, pemilihan yang bebas dan jujur, dan kekuasaan mayoritas dan hak-hak minoritas. Oleh karena itu, demokratisasi sering diidentikkan dengan seperangkat prosedur tertentu dalam menjadikan bentuk pemerintahan yang berada dalam kekuasaan rakyat.
Abba>s Mah}mu>d al-Aqqa>d dalam bukunya al-Dimuqratiyah fi al-Isla>m mengungkapkan asas-asas demokrasi yang berkembang di dalam Islam. Dasar penetapan asas-asa tersebut adalah berpijak pada sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan hadis) dan praktek kenegaraan yang berkembang di masa Nabi Muhammad saw. dan khulafa>‘ al-Ra>syidi>n. Secara lengkap asas-asas demokrasi adalah: tanggung jawab individu, persamaan manusia dan hak-haknya, musyawarah, dan solidaritas sosial. [20]
Sementara, Kuntowijoyo mengeksplorasi enam macam ciri dan substansi dari demokratisasi yang terkandung dalam sumber ajaran Islam (al-Qur’an). Keenam  prinsip tersebut adalah: ta’a>ruf (saling mengenal), syu>ra (musyawarah), ta’a>wun (kerjasama dan koperasi), mas}lahah (menguntungkan masyarakat), adl (berbuat adil), tagyir (perubahan). [21]
Dari beberapa penjelasan tentang demokratisasi di atas yang bersumber dari beberapa pemikir muslim dan Barat, tempat di mana lahirnya tradisi demokrasi, maka pemahaman tentang demokrasi menjadi suatu yang beragama sesuai dengan konteksnya. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan isu-isu demokratisasi yang berjalan di negara-negara Barat dengan negara-negara Timur (Islam).  Namun, realitas menunjukkan lain, acapkali demokratisasi dipaksakan oleh negara maju dengan serangkaian besar dana dan prosedur yang ketat agar demokratisasi dilaksanakan sesuai keinginan mereka, padahal locus dan tempos-nya berbeda. Ada yang menerima, menola dan ada yang memberi apresiasi dengan sewajarnya. Penjelasan terhadap masalah ini dapat dilihat perjalanan demokratisasi dalam sejarah di pembahasan selanjutnya.

III. SEJARAH DEMOKRASI DAN PERJALANANNYA: Kasus Pakistan
Demokratisasi berjalan seiring dengan perjalanan umat manusia di muka bumi. Ia menjadi isu yang penting dan menerpa di berbagai negara di dunia termasuk dunia Islam. Fenomena ini setidaknya mulai terlihat dalam dasa warsa terakhir di abad kedua puluh. Bersamaan dengan lahirnya gerakan keagamaan, ia terkadang seiring dan sejalan dengan pembentukan politik yang lebih demokratis. Namun, di wilayah lain menunjukkan fenomena yang paradoks. [22]
Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya, demokratisasi lahir dan besar di lingkungan Barat, Athena dan menjadikan Barat sebagai suatu yang  patut ditiru dan dicontoh oleh masyarakat Timur termasuk Islam.
Pembahasan tentang realitas empirik demokratisasi yang berjalan di dunia Islam dapat diihat dalam perjalanan negara Pakistan. Walaupun, negara Pakistan tidak dapat dijadikan sebagai gambaran umum tentang gagalnya demokratisasi di dunia Islam. Namun, sosok unik negara Pakistan dalam perjalanan sejarahnya berkutat dan bercengkarama bersama demokratisasi patut direnungkan sebagai gambaran dan cermin menuju masyarakat yang lebih baik.
Berbicara tentang negara Pakistan tidak akan terlepas dengan negara tetangganya India. Sebelum memisahkan diri menjadi sebuah negara Pakistan adalah menjadi bagian dari India yang mayoritas berpenduduk Hindu.  Adalah bayangan masa silam untuk meraih kejayaan kembali sebagai suatu impian yang dicita-citakan. [23] Pakistan lahir  sebagai negara 15 Agustus 1947 bagi umat Islam India dengan gumbernur Jenderal Ali Jinnah. [24]
Sejak beridiri sebagai negara Pakistan berusaha menerapkan syari’at Islam dalam negara. Tawaran-tawaran terus muncul di dalam pemerintahan ini. al-Maududi memberi kontribusi tentang bentuk pemerintahan teokratik yang bersifat tradisional. Di pihak lain Fazlur Rahman merekomendasikan bentuk negara yang lebih modern berdasarkan kedualatan rakyat. [25]
Sistem pemerintahan diadopsi dari al-Qur’an dan hadis, sebagaimana tercermin dalam Rancangan UU Liga Muslim tahun 1940 dan disahkan menjadi UU tahun 1956 menjadi sebuah Republik Islam Pakistan. John L. Esposito menyebut undang-undang ini sebagai perundang-undangan yang  demokrasi dan Islami. [26] Anggapan demikian sangatlah beralasan karena Pakistan sebagai negara Republik Islam dan menganut sistem parlementer  model Westminster. Prinsip-prinsip tersebut disepakati oleh kebanyakan kalangan di Pakistan.
Tidak berjalan lama, enam tahun kemudian, tepatnya 1962 kata Islam dihilangkan. Penghilangan ini disebabkan oleh banyak faktor di antaranya banyak yang tidak puas dengan slogan Islam dan tidak banyak persoalan yang terpecahkan. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah bagaimana ciri ciri Islami yang tercermin dalam ideologi dan pranata sosial yang ada? [27] Oleh karena itu,, agar tidak menyolok, didirikan dua dewan yakni dewan ideologi Islam dan lembaga penelitian Islam. [28]
Perjalanan Pakistan dalam pentas sejarah telah banyak dicatat sejarawan. Babakan pemerintahan negara Pakistan yang terkesan ambigu dalam menangkap isu-isu identitas nasional dan demokrasi. Hal tersebut tercermin dalam masa pemerintahan Ayub Khan (1958-1969) yang menerapkan demokrasi terpimpin, Zulfikar Ali Butho (1971-1977) yang menerapkan sosialisme Islam populis, dan Zia Ul-Haq (1977-1988) yang menerapkan otoritarisme. [29]
Demokrasi terpimpin mulai dilaksanakan sejak masa pemerintahan Ayub Khan. Gaya pemerintahan sebelumnya tidak cocok lagi untuk tetap dipertahankan. Krisis-krisis yang multi dimensional tidak akan dapat teratasi dan oleh sebab itu dilakukanlah beberapa peryundang-undangan darurat. Sikap keagamannya adalah modernis dengan berpaling kepada para cendekiwan dan sarjana Islam. Walaupun demikian, keberadaannya sering ditentang oleh kalangan Islam sendiri.
Zulfikar Ali Butho memerintah dengan mengakomodasi Islam. Hal ini terlihat dalam usahanya untuk mengharuskan setiap presiden dan perdana menterinya seorang muslim. Di samping itu, berbagai program dilakukan dengan cara mensejahterakan rakyatnya melalui sejumlah proyek atas partisipasi Saudi Arabia. Ali Butho dibabat habis oleh pesaing dari oposisinya karena tidak menginginkan ia memerintah lebih lama. Oleh karena itu, 4 April 1979 Zia ul-Haq berhasil menggulingkannnya dari kursi pemerintahan. [30] Dengan demikian, terjadi pergeseran kepemimpinan di Pakistan ke rezim otoritarian.
Perjalanan sejarah Pakistan  tersebut menyebabkan demokrasi  tidak berjalan dengan baik, terutama pada masa Zia Ul-Haq. Oleh karena itu, terdapat beberapa usaha yang dilakukan para politisi melalui beberapa kritik yang dilancarkan. PPP Butho dan PNA bergabung dalam sebuah gerakan untuk memulihkan demokrasi. Gerakan ini dikenal dengan MRD.[31]
Upaya yang dilakukan oleh Zia dalam bentuk Islamisasi Pakistan tidak dapat berjalan dengan baik seiring dengan kematiannya yang tragis dalam kecelakaan pesawat terbang. Seiring dengan hal itu, maka diadakanlah pemilian umum yang paling demokratis di Pakistan pada November 1988. Pemilu tersebut dimenangkan oleh Benazir Butho dan menyaingi rivalnya Aliansi Demokrasi Islam (AJI). [32]
Pasca Zia dilangsungkan pemulihan demokrasi. Pergumulan Islam dan demokrasi menjadi marak. IJI berkeinginan untuk memasukkan isu tersebut di dalam pemerintahan, sementara PPP menginginkan pemerintahan yang tetap Islam dan tidak terkungkung pada demokrasi yang sekuler. [33] Pergulana tersebut tetap berjalan sampai sekarang, walaupun telah berganti-ganti pemerintahan.
Dari pengalaman Pakistan di atas tampak bahwa negara Islam Pakistan mencari bentuk dan di dalamnya terdapat berbagai macam corak ragam. Hal ini menandakan bagaimana kuatnya tansformasi yang hebat antara Islam dan demokratisasi. Keduanya saling megisi dalam pemerintahan dan mengklaim mempunyai dasar-dasar yang ideal dalam menata ketatanegaraan. Ada yang berusaha memadukan di antara keduanya dan ada juga yang memilih salah satu di antara keduanyadan bahkan ada yang meninggalkannya dengan mencoba melakukan pemerintahan yang otoriter. Oleh karena itu, perjalanan sejarah yang demikian membuat masyarakat Pakistan dapat berdiri kokoh dalam keseharian walaupun nyawa pemerintahan sering berganti. Pada sisi lain, ada kecenderungan untuk mersespon dalam tradisi dan budaya lokal Pakistan. Dengan demikian, isu demokratisasi di Pakistan sangat menarik dan multi wajah penampakan.
IV. ISLAM DAN DEMOKRATISASI: Persamaan dan Perbedaan
Persinggungan Islam dan demokratisasi baru muncul sejak umat Islam berisnggungan dengan Barat. Barat yang identik dengan pelaksanaan demokratisasi karena telah lama mempraktekkan demokrasi dan didukung dengan kondisi perekonomian yang baik membuat mereka berupaya keras untuk membuat masyarakatnya lebih baik dan sejahtera. Oleh karena itu, mereka berupaya menguasai dan menduduki daerah-daerah lain terutama demokrasi kawasan Asia dan Timur Tengah untuk mendapatkan sumber kekayaan yang strategis.
Mesir telah beringgungan dengan Prancis, India dengan Inggris dan Indonesia dengan Belanda. Ketiga wilayah negara tersebut dapat disebut guna mewakili dominasi Barat demokrasi negara muslim yang dapat memunculkan berbagai pembaruan yang significant dalam kehidupan dan pemikiran yang berkembang demokrasi negara tersebut.
Sejak Ali Pasya, telah dilakukan upaya penerjemahan karya Machievelli ke dalam bahasa Arab. Walaupun kenyataan tersebut dilakukan namun, pemerintahan Ali Pasya sangatlah otoriter. Demikian juga terhadap masyakarat India yang dijajah Inggris. Adanya persinggungan dan pemberdayan sumber daya manusia melalui MAOC (Mohammedan Anglo Oriental College) Aligarh Ahmad Khan berupaya terus menyadarkan  masyakarat muslim. Sampai pada kahirnya, Pakistan menjadi sebuah negara tersendiri yang bercirikan Islam.
Kehadiran Barat dalam berbagai negara demokrasi atas walaupun dengan landasan yang berbeda namun mereka juga dapat memberikan nilai positif bagi penduduk setempat. Namun, diakui atau tidak dari segi ekonomi dan pendidikan acap kali mereka tidak diberdayakan. Kenyataan tersebut terus berlangsung sampai penjajahan dianggap sebagai sesuatu yang melanggar kedaulatan negara. Oleh karena itu, satu persatu negara muslim dan lain yang demokrasi bawah genggaman kolonialis dilepaskan, dimerdekakan atau memerdekakan diri.
Sementara, di sisi lain banyak komunitas muslim yang ditindas oleh negara yang mayoritas beragama lain berupya mencapai kemeredekaan belum dapat terwujudkan dengan baik. Masyarakat Moro di Philipina dan Kaum muslim di Pattani Thailand menambah adanya kesenjangan antara minoritas dan mayoritas. Di pihak lain, ketidakadilan masyarakat internasional dalam menilai dan menyikapi masalah-masalah yang berkembang di beberapa negara sering memiliki standart ganda. Lihat saja, pertikaian antara Israel dan Palestina yang merenggut lebih drai 80 nyawa tidak satupun resolusi yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB, sementara ketika tiga orang di antara mereka yang menjadi tragedi pembunuhan di Atambua responnya sangat berlebihan.
Dari sini tampak bahwa masih terdapat adanya upaya pemaksaan dari negara maju kepada negara lain untuk menerapkan isu-isu yang sebenarnya sudah mereka lakukan dan dijadikan sebagai proyek uji coba “kelinci percobaan” dalam berbagai kasus yang membuat mereka mampu survive. Sekali lagi, Barat adalah pemilik semuanya baik modal maupun pengalaman bernegara. Oleh karena itu, tidak selalu mengherankan di masa sekarang terjadi pemaksaan kehendak demi tercapainya tujuan dan misis-misi tertentu.
Keniscayaan tersebut sering terabaikan dan bahkan disia-siakan manakala berbagai isu-isu demokratisasi dihadapkan dengan pandangan keagamaan tertentu. Walaupun di dalam tubuh wacana pemikiran Islam terdapat berbagai macam corak yang melingkupinya. Namun, upaya dinamisasi Islam terhadap demokratisasi sering dijumpai dalam pemikiran Islam.
Terdapat beberapa kerancuan di dalam memahami demokratisasi. Demokratisasi sering diidentikan dengan Islam. Namun, tidak semua nilai-nilai demokratisasi sesuai dengan Islam. Oleh karena itu, harus arif dan bijaksana dalam menilai keduanya, di manakah Islam dan demokratisasi itu bertemu dan di manakah keduanya berbeda? Mencermati hal ini, Fahwi Huwaydi mengatakan adanya kesemerawutan di dunia Islam dan Arab khususnya. [34]
Berbagai upaya Islam menanggapi demokratisasi dapat dilihat dalam berbagai persamaan dan perbedaan yang dijelaskan dalam tulisan di bawah ini yang dielaborasi dari berbagai tulisan yang membahas persinggungan Islam dan demokratisasi.
a. Persamaan
Berdasarkan ciri-ciri demokratisasi dalam wacana pemikiran di atas, tampak bahwa ada berbagai persamaan antara demokratisasi dan Islam. Kesesuaian antara Islam da demokratisasi tidak saja ditujukan pada susbtansi demokratisasi dalam tubuh Islam yang lebih berisfat filosofis melainkan juga ada anjuran secara normatif (literal) dalam memasuki wilayah demokratisasi.
Berbicara asal pengertian demokrasi yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka pembahasan tersebut ada di dalam Islam. Namun, jika yang dimaksud hanyalah sistem sosial tertentu seperti persamaan di depan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, memberi jaminan hidup hak-hak tertentu, dan sebagainya juga dijamin di dalam Islam. Sampai di sini di dalam formulasi klasik ditemukan perbedaan. Kajian-kajian fiqh dan usul fiqh menempatkan hak Allah, di samping hak manusia dan di antara keduanya.
Adanya varian-varian makna demokratisasi menyebabkan umat Islam harus mencermatinya. Salah satu bentuk varian tersebut adalah adanya pemisahan kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dengan kekuasaan lain seperti legistlatif dan yudikatif. Pemisahan semacam ini dilakukan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi rakyat untuk melakukan pengorganisasian negara dengan kekuasaan. Maksud baik ini adalah untuk meminimalisir adanya pemerintahan yang absolut. Di dalam mengorganisasi negara imam atau presiden cenderung berkuasa penuh dan oleh karenanya ada pengawas yang disebut legislatif yang berusaha membuat aturan permainan di dalam melaksanakan kehidupan kenegaraan [35] Dengan demikian, pemerintahan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa kendali.
Sampai dalam hal ini Islam dan demokrasi dapat dipertemukan satu dengan lainnya. adanya kerjasama, saling tolong menolong, keadilan (justice), musa>wah (persaman), dan musyawarah (syura). Ciri-ciri tersebut melekat dalam demokratisasi dan sisi ideal Islam. Praktek-praktek kenegaraan  di negara Islam cenderung berbeda-beda tergantung respon umat Islam di dalamnya. Oleh karena itu, realitas empirik yang demikian tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa Islam tidak merespon ide dan isu-isu demokratisasi.
Di samping itu, dalam dimensi pemikiran yang berkembang di dalam umat Islam juga tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang identik dengan pemasungan demokratisasi. Walaupun demikian, ada juga pemikiran yang sangat apreasiatif terhadap demokratisasi di kalangan pemikir dan cendekiawan tertentu. Sekali lagi, idealisasi pesan yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis terutama dalam kaca mata dilosofis  sangat  mendukung ide demokratisasi dalam pemerintahan.
B. Perbedaan
Sebaliknya, Islam yang di dalamnya diatur berbagai persoalan yang tidak saja berkaitan dengan masalah dunia juga masalah keakheratan, tidak semuanya dapat disejajarkan dengan demokratisasi. Ketidaksesuaian tersebut lebih banyak dikarenakan oleh habitat yang berbeda dan bukan substansi permasalahan yang berada di dalam dataran filosofis.
Secara jelas dan lengkap perbedaan yang terjadi antara demokratisasi dan Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
Secara terminologis, Dhiya al-Di>n al-Rais membedakan pengertian antara bangsa (nation) dengan ummat (Islamic Community). [36] Semangat pembentukan nation yang telah terbungkus dalam wilayah geografis tertentu, dan adanya kesamaan di antara mereka baik yang berkenaan dengan sejarah, etnis maupun yang lain merupakan  sebuah gejala yang menimbulkan gerakan yang tidak baik. Gerakan tersebut antara lain adalah nasionalisme dan rasialisme yang fanatisme. Sebaliknya, keberadaan ummat di dalam Islam, tidak ada satu ikatan pun yang dapat membelenggunya. Hanya ikatan kepercayaan terhadap Allah yang terbungkus dalam tauhid dan akidah yang dapat menyatukan ummat Islam di seluruh dunia dengan tanpa sekat-sekat apapun yang melingkupinya. [37]
Adanya pandangan di atas lebih disebabkan karena mereka asumsi Islam akan jaya jika seluruh  wilayah Islam berada dalam satu kekhalifahan. Namun, dalam hal ini, terdapat berbagai macam bentuk pemikiran di antara umat Islam. Salah satunya adalah Ali ibn Abd. al-Raziq yang mementahkan upaya tersebut. Ia memandang bahwa al-Qur’an tidak mengatur secara jelas tentang kewajiban pembentukan kekhalifahan. [38] Usaha ini tentu didukung oleh realitas empirik di masa lampau ketika kelahiran nasionalisme dan nation state yang ditandai berakhirnya kolonialisme Barat.
Adanya keinginan umat Islam sebagai ummat yang menguasai dunia sebagaimana hanya terdapat ikatan keagamaan saja dalam kaca mata sekarang sudah dapat dirasakan. Walaupun isu-isu tersebut tidak laku dan tidak populer ketika masih maraknya ide nasionalisme. Namun, di era modern ini di mana era globalisasi melanda dunia secara keseluruhan, lambat laun namun pasti keberadaan nastion atau state semakin menipis. Di mana keberadaan nation tidak dapat lagi dipertahankan sebagai sebuah batas tertentu secara geografis dan pengendalian serta pengorganisasian lebih luas dari apa yang dilakukan dahulu. Dunia saat ini hanya dikuasai oleh empat I, yaitu Investasi, Industri, Informasi, dan individual. [39] Dengan demikian, adanya ummat yang satu dalam batas-batas tertentu dpaat dimungkinkan dengan alasan kepentingan tertentu pula. Seperti kawasan Eropa membentuk mata uang yang sama Euro dalam kegiatan perekonomian mereka.
Perbedaan yang kedua adalah dilihat dari tujuan demokratisasi. Tujuan demokratisasi yang berkembang di Barat lebih bersifat duniawi dan materialis. Oleh karena itu, berbeda dengan Islam yang berusaha menggait dan memadukan kepentingan sesaat di dunia dengan kepentingan di hari akhirat. Dari sini tampak bahwa di dalam negara Islam terdapat kecenderungan tertinggal dengan Barat.
Oleh karena itu, tidak ada masalah jika masalah-masalah yang sangat dilarang agama seperti perzinahan, minuman keras dan sebagainya untuk didiskusikan sebagai sesuatu yang sah. Hal ini terjadi di negara-negara Barat. Berbeda dengan negara Islam, di dalamnya sudah tidak ada ruang lagi di dalam membahas masalah-masalah keagamaan yang sudah jelas dilarang oleh pembuat syari’.  Yakni, “sesuatu yang halal dan haram itu jelas” dan “sesuatu yang halal adalah sesuatu yang telah dihalalkan dalam al-Qur’an begitu juga sebaliknya terhadap sesuatu yang dilarang dan sesuatu yang didiamkan merupakan sebuah kebebasan bagi umat manusia untuk menggunakannya dan ini merupakan kemurahan Allah”. [40]
Di samping itu, perbedaan juga terlihat dalam kekuasaan yang diemban rakyat dalam demokratisasi Barat cenderung mutlak dan di dalam Islam setiap orang harus tunduk pada hukum Allah, siapapun orangnya baik penguasa maupun rakyatnya. Bukan berarti kekuasaan tertinggi di dalam Islam adalah Tuhan karena Islam tidak sama dengan paham teokrasi. Demikian juga dengan paham otokrasi karena Islam tidak memberi kekuasaan yang berlebihan kepada penguasa dan tidak juga pada undang-undang yang melairkan ciri negara nomokrasi. Oleh karena itu, kekuasaan dalam Islam dipegang ummat dan undang-undang serta syari’at Allah. [41]
Pemikir lain yang berusaha memahami dasar ideal Islam adalah Abu A’la al-Maududui. Ia menganggap bahwa tidak ada demokrasi di dalam Islam. [42] Pemerintahan yang berketuhanan yang cocok di dalam Islam dan bentuk semacam ini adalah berbeda dengan yang berkembang di Barat. Tipe-tipe tawaran semacam ini merupakan tawaran kaum fundamentalis di dalam menyikap kondisi gencarnya isu demokratisasi. [43]
Di sisi lain, terdapat pemahaman yang berupaya mengintegrasikan antara demokratisasi dan Islam, sebagaimana dilakukan oleh Aba>s Mah}mu>d al-Aqq>d dalam masalah kedaulatan (al-siya>sah), Aqqa>d memadukan di antara kontrak antara penguasa dengan rakyat dan kontrak dengan Tuhan. [44] Pemikiran ini berkeinginan memadukan sisi-sisi tertentu antara al-Qur’an dan demokratisasi. Tidak semua hal diatur di dalam Islam, termasuk masalah ini.
Berbeda dengan keduanya, Saifuddin Abdul Fatah mengajak kepada  seluruh ummat Islam agar memikirkan sistem politik yang cocok dan sesuai dengan Islam dan harus berhati-hati dengan sistem Barat. Demokratisasi menduduki kunci yang pertama dalam berbagai hal:
1.  Segala bentuk yang diambil dari non Muslim tidak akan membawa kepada kemajuan yang significant.
2.  Sistem-sistem yang dijadikan alat problem solving pasti bertentangan dengan syari’at Islam baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian tertentu.
3.  Akidah Islam menganjurkan agar membentuk sistem pemerintahan sendiri yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Demikian juga sebaliknya, harus mampu menolak ideologi-ideologi yang tidak sejalan dengan akidah Islamiyah. [45]
Sementara itu, Bahtiar Effendi, memberikan beberapa perbedaan antara demokratisasi dan Islam. Di dalam Islam memungkinkan adanya konsep ahl al-zimmi (posisi/kedudukan umat non-muslim di negara Islam). Adanya bentuk pemahaman semacam ini tidak mungkin terjadi di dalam negara yang menganut sistem demokratisasi. Karena di dalamnya diakui hak-hak minoritasnya.[46] Kajian tersebut semakin menambah deretan adanya suatu hal yang berbeda antara Islam dan demokratisasi.
Berdasarkan pandangan yang terakhir ini tampak ummat Islam akan sangat represif di dalam memahami wacana yang berkembang dan bukan ini yang seharusnya dilakukan umat Islam. Umat Islam akan dapat maju dan berkembang manakala mampu berdialog dan bersinggungan dengan Barat, termasuk bercengkrama dengan demokratisasi. Berbagai pemikiran di atas merupakan khazanah pemikiran keislaman yang patut dihargai. Oleh karena itu, kesadaran untuk berbeda dalam menyikapi demokratisasi dan masalah-masalah lain perlu dikampanyekan. Kegagalan akan upaya  yang demikian akan menimbulkan kekerasan terutama di antara masyarakat awam.
Tentu, demokratisasi yang dibangun harus disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu di mana suatu negara akan menjalankannya. Kondisi Indonesia akan berbeda dengan kondisi Pakistan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, kearifan akan dapat menghantarkan kesuksesan di mana akan menempatkan demokratisasi sesuai dengan habitatnya. Biarkan sesuatu yang sesuai dengan Islam tetap berjalan dan yang tidak sesuai  dengan Islam untuk ditinggalkan.
V.  KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.  Demokratisasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang kekuasaan di tangan rakyat. Ia lahir di dalam masyarakat Athena-Yunani dan merupakan alternatif pemerintahan yang baik pada saat itu. Keberadaan demokratisasi sejak lahir sampai usianya sekarang, telah  mengalami banyak perubahan dan menuju modernisasi dan menimbulkan berbagai macam teori. Banyak negara mengadopsinya untuk menatap pemerintahan yang modern. Berbagai isu dan proyek tersebut banyak diucjicobakan di dalam  dunia Islam.
2.  Kajian masalah demokratisasi dalam wacana studi Islam banyak yang menyamakan dan membedakan tanpa memilah dan memilih mana yang baik dan yang tidak baik. Pembahasan yang amat bijaksana juga ada sebagaimana dilakukan oleh Dhiya al-Din al-Rais yang mengungkap sejumlah perbedaan dan persamaan antara Islam dan demokratisasi. Pemikiran lain, juga diungkapkan oleh Bahtiar Effendi. Di samping itu, ada juga pemikiran yang melihat sebaliknya terutama dikemukakan oleh Abu A’la al-Mawdudi dan kawan-kawan di kalangan fundamentalis. Sementara, di dalam realitas empirik menunjukkan bermacam-macam respon umat Islam terhadap demokratisasi.
—000—
DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996.
al-Aqqa>d, Abba>s Mah}mu>d. al-Dimuqratiyah fi al-Isla>m (Beirur: Mansyu>ra>t al-Maktabat al-’Asriyah, t.th.
Donohue, John J. dan John L. Esposito, Islam in Tradition, Muslim  Perspective diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaruan Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakaarta: Rajawali Press, 1995.
Effendi, Bahtiar. “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban. Cet. I; Jakarta, Paramadina, 1996.
——-Islam and Democracyt: in Search of a Viable Systhesis dalam Studia Islamika, Vo. 2, No. 4, 1995.
——Masyarakat Agama: Deprivatiasai Agama, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradabn Ulumul Qur’an edisi 3/VII/1997.
Esposito, John L. Islam and Democracy diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Demokratisasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Praktek. Bandung: Mizan, 1999.
——–Islam and Development diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin dengan judul Identitas Islam pada Perubahan Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Huwaydi, Fahmi. al-Isla>m wa al-DImuqratiyah diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Goffar E.M. dengan judul Demokratsi oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik Islam. Cet. I; Bandung: Mizan, 1996.
Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Ma>jah, jilid II (Mesir: Isa al-Babi al-Hubla wa Auladuh, t.th.
Karim, M. Rusli. Peluang dan Hambatan Demokratisasi dalam Analisis CSIS, Tahun XXVII, No. 1 Januari-Maret 1988.
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Cet. II; Bandung: Mizan, 1997.
Magnis-Suseno, Franz. “Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban. Cet. I; Jakarta, Paramadina, 1996.
Ohmae, Kenichi. The End of the Nation State dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret-April 1996.
al-Raziq, Ali ibn Abd. al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm. Cet. III; tp., 1925.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajarn, Sejarah, dan Pemikirannya. Cet. VIII; Jakarta: UI Press, 1990.
Taylor,David. “Politik Islam dan Islamisasi Pakistan” dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
The World of Encyclopaedia, juz V. Chicago: World Book, Inc., 1983.
Tibi, Bassam. The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder. Los Angles: University of California Press, 1998.


[1]Isu-isu penting yang berkembang di era modern di antaranya globalisasi, demokratisasi dan civil society. Ketiga hal tersebut dalam beberapa hal memaksa umat Islam dan dunia Islam untuk meresponnya. Oleh karena itu, kajian-kajian tentang hal ini mulai banyak ditemukan, terutama oleh penulis kontemporer yang berupaya mengakomodasinya dalam wacana keislaman. Tulisan-tulisan tersebut antara lain: Abba>s Mah}mu>d al-Aqqa>d, al-Dimuqratiyah fi al-Isla>m (Beirur: Mansyu>ra>t al-Maktabat al-’Asriyah, t.th.), John L. Esposito, Islam and Democracy diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dengan judul Demokratisasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Praktek (Bandung: Mizan, 1999), Bahtiar Effendi dalam berbagai artikel yang ditulis seperti Islam and Democracyt: in Search of a Viable Systhesis dalam Studia Islamika, Vo. 2, No. 4, 1995, h. 1-20, Masyarakat Agama: Deprivatiasai Agama, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradabn Ulumul Qur’an edisi 3/VII/1997, h. 43-51, dan berbagai tulisan lain yang menggambarkan berbagai isu tersebut.
[2]Tiga bentuk respon umat Islam dalam menyikapi hubungan Islam dengan negara adalah pertama, anti Barat, yang mengangsumsikan sismtem terbaik adalah sistem yang dijalankan oleh Rasulullah saw. dan pemerintahan sesudahnya (khulafa>’ al-ra>syidu>n). Kelompok ini diwakili oleh Hasan al-Banna, Rasyid Ridha, Sayid Qutb, dan al-Maududi. Sebaliknya, kelompok kedua menganggap Islam mempunyai kesamaan dengan agama-agama di Barat yang tidak mengatur persoalan kenegaraan. Oleh karena itu, mereka menganggap Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan. Masuk dalam pemikir ini   adalah Taha Husain dan Ali ibn Abd. al-Raziq. Ketiga, mengakomodir keduanya, dengan mengatakan Islam hanya memberikan tata nilainya saja sedangkan realisasinya tergantung ijtihad masing-masing kaum muslimin. Haekal adalah masuk dalam tipe ketiga. Lihat  Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikirannya (Cet. VIII; Jakarta: UI Press, 1990), h. 1-2, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 111.
[3]Pengalaman-pengalaman negara-negara Islam tidak sama dalam meresponnya. Saudi Arabia merupakan kerajaan Islam yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kenegaraannya Namun, banyak yang menilai negara tersebut tidak demokratis. Di negara-negara lain, isu yang demikian telah menempatkannya sebagai isu penting. Sebuah negara atau person lebih aman ketika tidak dijustifikasi sebagai negara atau seorang yang demokratis dan tidak otoriter daripada tidak Islami. Demikian juga terhadap hal-hal yang melingkupi dari pengalaman negara muslim dalam demokratisasi. Lihat John L. Esposito, Islam and…. Minimnya kajian terhadap demokratisasi yang berkembang di negara Islam membuat kajian ini tidak populer di negara-negara Islam. Lihat kajian Bahtiar Effendi, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban (Cet. I; Jakarta, Paramadina, 1996). h. 86.
[4]Istilah demokratisasi pertama kali muncul dari Yunani sekitar 2,5 ribu tahun silam,  di salah satu kota Yunani, Athena muncul bentuk pemerintahan politik baru. Namun, bukan berarti substansi demokrasi tidak dapat ditemukan sebelumnya. Franz Magnis-Suseno melihat jauh sebelum munculnya Yunani yakni 4 ribu tahun silam di mana munculnya Abraham (Ibrahim) di masyakarat Israel telah menemukan akar-akar demokrasi ini. Lihat Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder (Los Angles: University of California Press, 1998), h. 180. Lihat juga, Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban (Cet. I; Jakarta, Paramadina, 1996). h. 129-130.
[5]Lihat ibid., h. 121-124.
[6]Ia merupakan babakan baru dalam sejarah masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara. Demokratisasi muncul akibat kehancuran struktur-struktur feodal Abad Pertengahan dengan pendambaan cita-cita pencerahan budi, rasionalisme, individualisme, sekularisme dan manivestasi revolusi Perancis. Oleh karena itu, muncul berbagai teori tentang hal ini, seperti Rousseau. Lihat Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi:…. op. cit., h. 127-129.
[7]Athena adalah kota yang mampu merealisasikan demokrasi secara langsung dalam sebuah majelis dan di dalamnya hanya terdiri dari 5000 sampai 6000 orang yang memungkinkan dalam jumlah tersebut berkumpul dalam satu ruangan. Namun, bentuk demokrasi langsung tersebut tidak lagi banyak dianut oleh negara-negara maju dikarenakan jumlah penduduk yang lebih banyak dan lebih nyaman mengbgunakan perwakilan dalam mengurusi suatu tatanan kenegaraan. Lihat The World of Encyclopaedia, juz V,  (Chicago: World Book, Inc., 1983), h.106.
[8]Ibid., h. 106-107.
[9]Lihat catatan Bahtiar Effendi tentang jumlah negara yang mengikuti demokratisasi dan kajian-kajian tentang hal tersebut di Barat. Lihat Bahtiar Effendi, “Islam dan Demokrasi:…. op. cit., h. 86.
[10]Ibid.
[11]Bahtiar Effensi, “Islam dan Demokrasi:…. op. cit., h.  89.
[12]Lihat M. Rusli Karim, Peluang dan Hambatan Demokratisasi dalam Analisis CSIS, Tahun XXVII, No. 1 Januari-Maret 1988, h. 6.
[13]Ibid.
[14]Pemikiran tersebut menghasilkan ciri-ciri demokratisasi sebagai berikut: persaingan partisispasi politik, persaingan rekrutmen politik, keterbukaan rekurtmen eksebutif dan keberadaan hambatan dari ketua-ketua eksekutif. Lihat ibid., h. 6-7.
[15]Bagi kedua pemikir tersebut hakekat politik  haruslah memilki empat kelompok pembuat keputusan, yaitu pemilih, pejabat yang dipilih/politisi, birokrat dan kelompok-kelompok kepentingan. Lihat ibid.
[16]Rawl menekankan terhadap hak-hak sipil dan politik yang sama, hak-hak sosio-ekonomi yang minimum dan keterpercayaan. Lihat ibid.
[17]Ibid., h. 7.
[18]Lihat ibid., h. 7-8.
[19]Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Cet. II; Bandung: Mizan, 1997),  h. 91
[20]Abba>s Mah}mu>d al-Aqqa>d al-Dimuqratiyah fi al-Isla>m (Beirut: Mansyu>rat al-Maktabah al-’Asruya, t,.th.), h. 29-31.
[21]Kuntowijoyo, Identitas Politik…. h. 91-104.
[22]Esposito, John L. Esposito, Islam and Democracy…. op. cit., h. 1.
[23]A> Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Cet. III; Bandung: Mizan, 1996), h. 9.
[24]Ali Jinnah lahir di  Karachi tahun 1876 dan krier politiknya dimulai sejak keiutsertaannya dalam Partai Kongres India Lihat A. Mukti Ali, Alam Pikiran…. op. cit., h. 191.  Ia sangat  layak sebagai menjabat jabatan tersebut karena dialah yang menjadi pioner dalam kemerdekaan Pakistan dan berhasil mewujudkan impian teman-temannya, seperti Muhammad Abduh dan Sayyid Akhmad Khan. Berbagai perjalanan selanjutnya lihat John L. Esposito, Islam and Development diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin dengan judul Identitas Islam pada Perubahan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 217.
[25]John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam in Tradition, Muslim  Perspective diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaruan Ensiklopedi Masalah-masalah (Jakaarta: Rajawali Press, 1995), h. 452.
[26]John L. Esposito., Islam  and Democracy…. op. cit., h. 138.
[27]Ibid.
[28]Fungsi Dewan Penasehat ideologi Islam adalah membuat rekomendasi kepada pemerintah atas provinsi-provinsi yang dapat menjalankan syari’at Islam dan memastikan suatu perundang-undangan sesuai atau tidak dengan syari’at Islam. Sedangkan Lembaga Pusat Penelitian Islam berfungsi untuk membangun kebali masyarakat Islam atas dasar-dasar yang Islami. Hal ini sesuai dengan amanat Konstitusi 1956 ayat 197. John L. Esposito., Islam and Development…. op. cit., h. 225.
[29]John L. Esposito, Islam and Democracy…. op. cit., h. 138-139.
[30]Davi Taylor, “Politik Islam dan Islamisasi Pakistan” dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 137.
[31]John L. Esposito, Islam and Democracy…. op. cit., h. 152-153.
[32]Ibid., h. 153.
[33]Ibid.
[34]Fahmi Huwaydi, al-Isla>m wa al-DImuqratiyah diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Goffar E.M. dengan judul Demokratsi oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 1996),  h. 193
[35]Ibid.
[36]Ibid., h. 240.
[37]Ibid.
[38]Terhadap pemikiran Ali ibn Abd. al-Raziq dalam mersepon pemikiran penghapusan kekhalifahan Islam dapat dilihat dalam penjelasan panjang beliau dalam memaparkan sejarah pemerintahan pada masa Rasulullah saw. Lihat Ali ibn Abd. al-Raziq, al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm (Cet. III; tp., 1925), h. 64-80.
[39]Lihat Kenichi Ohmae, The End of the Nation State dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret-April 1996, h.  119-120.
[40]Lihat Ibn Majah, Sunan Ibn Ma>jah, jilid II (Mesir: Isa al-Babi al-Hubla wa Auladuh, t.th.), 117. Hadis no. 3367. Juga diriwayatkan oleh mukharrij al-hadis lainnya.
[41]Fahmi Huwaydi, al-Isla>m wa al-DImuqratiyah… op. cit., h. 245.
[42]Bassam Tibi, The Challenge of…. op. cit., h. 187.
[43]Ibid.
[44]Abba>s Mah}mu>d al-Aqqa>d al-Dimuqratiyah… op. cit., h. 39.
[45]Fahmi Huwaydi, al-Isla>m wa al-DImuqratiyah… loc. cit.
[46]Bahtiar Effendi, Islam and Democracy….. op. cit., h. 14