DAM IMM JATIM, "Wujudkan Keberpihakan Terhadap Kaum Mustadh'afin"

Showing posts with label News-Opini. Show all posts
Showing posts with label News-Opini. Show all posts

Tuesday, February 19, 2013

Kleptokrasi dan Negara Gagal

Diakui atau tidak, sebenarnya korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya. Bahkan, bangsa Indonesia mengarah menjadi negara kleptokrasi, yakni negara yang diperintah oleh para pencuri.

Indonesia semakin terperangkap dalam pusaran “kleptokrasi”. Korup dan “semrawut”. Itulah kenyataan yang ada. Selama ini, berbagai kasus korupsi semakin terungkap. Musuh besar kita kini adalah korupsi. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hanya memberikan pernyataan terkait pemberantasan korupsi, tetapi juga melakukan karya yang lebih nyata.

 
Negara gagal

Kleptokrasi biasa diartikan sebagai negara yang diperintah oleh pencuri. Penguasa memakai uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri atau korupsi. Praktik korupsi dilakukan dengan menyelewengkan kewenangan untuk memengaruhi kebijakan. Kondisi itu terjadi di Indonesia. Korupsi dilakukan lembaga pemegang kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ketiga lembaga itu sering kali melakukan persekongkolan untuk menyelewengkan uang rakyat.

Kasus suap proyek pembangunan wisma atlet di Palembang, Sumatera Selatan, misalnya, adalah salah satu contoh persekongkolan antara politisi di DPR (legislatif) dan pejabat pemerintah (eksekutif). Adapun kasus suap yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar adalah contoh kejahatan korupsi di lembaga peradilan (yudikatif). Contoh kejahatan lain juga sudah banyak terjadi. Ini menjadi bukti kuat bahwa kejahatan oleh mereka yang memiliki kekuasaan semakin merajalela.

Kleptokrasi akan membuat pemerintahan rusak. Praktik koruptif oleh penguasa juga dapat mengganggu proses konsolidasi demokrasi. Jika terus dibiarkan, Indonesia bisa mengarah pada negara gagal. Kita harus mengakui, Indonesia bisa menjadi negara yang gagal sebab penyelenggara negaranya terbelit korupsi di berbagai level. Kondisi ini yang harus segera diatasi pemerintah. Jangan biarkan aparatur negara semakin brutal melakukan korupsi di berbagai lini.

Masyarakat Frustrasi

Masyarakat kini cenderung frustrasi atas tidak adanya jaminan keadilan yang dapat diberikan pemangku kekuasaan. Institusi peradilan, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun pemasyarakatan belum mampu diharapkan bekerja bersih, tanpa korupsi. Kini masyarakat menggantungkan sisa harapannya pada lembaga independen, semisal KPK, Komisi Nasional HAM, dan Komisi Yudisial (KY). Tidak ada yang disisakan bagi masyarakat berkontestasi untuk mencapai keadilannya.

Ada perbedaan perlakuan terhadap masyarakat kecil yang mencari keadilan dengan tersangka korupsi, yang umumnya adalah pejabat, pengusaha, atau politisi. Hampir dalam semua kasus, petani kecil itu selalu dikalahkan. Pengusaha dan politisi koruptor selalu menang.

Apalagi, selama ini sistem peradilan yang dihancurkan secara sistematis oleh pemangku keadilan, penegak hukum, politisi, pejabat, dan pengusaha melalui cara-cara memperjualbelikan dan mentransaksikan keadilan dengan fasilitas mewah. Karena itu, KY harus menjelankan tugasnya sebagai pembersih lembaga pengadilan dari hakim-hakim nakal.

Terungkapnya kasus suap pada sejumlah hakim, juga pada aparat pemerintah lainnya, makin menggerus kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum. Untuk itu, diperlukan kontrol dan pengawasan berlapis terhadap kinerja hakim dan penegak hukum agar mereka tidak terus terjangkiti virus korupsi.

Terbongkarnya kasus suap yang melibatkan hakim sangat memprihatinkan. Peradilan adalah benteng terakhir dari proses hukum setelah proses penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan. Jika benteng terakhir penjaga keadilan tergerogoti virus korupsi, tentu akan sulit dibayangkan penegakan hukum di negeri ini bisa berjalan baik. Tertangkapnya hakim Syarifuddin terkait kasus korupsi sekali lagi membuktikan, mafia hukum dan peradilan masih berjalan. Selama ini dugaan itu terasa, tetapi belum dibuktikan nyata. Karena itu, MA tidak bisa terus-terusan membantah, melainkan harus mengakui adanya masalah dalam tubuh hakim.

Memperbaiki sistem peradilan dan hakim di dalamnya tidak otomatis bisa membersihkan penegak hukum lain yang juga memiliki perilaku koruptif. Namun, hal itu harus dilakukan demi mewujudkan keadilan. Di sisi lain, yang paling penting adalah ketegasan dari pemimpin di negeri ini di semua lini. Jangan sampai pemimpin kalah dengan para koruptor.

Kepemimpinan Tegas

Pemberantasan korupsi butuh kepemimpinan. Kepemimpinan yang tegas, akan melahirkan sistem pemerintahan yang jujur, bersih, dan bebas dari tikus yang rakus. Karena tikus tak pernah kenyang menggarong uang negara.
Maka dari itu, di sisa kepemimpinannya, Presiden Yudhoyono harus mengubah kabinetnya, dan menunjuk seorang menteri koordinator bidang hukum dan hak asasi manusia, dan memilih figur yang bersih dan tegas untuk menjabatnya, yang akan memimpin pemberantasan korupsi dengan tegas. Selain itu, KPK harus tetap diperkuat, dan jangan diganggu.

Benang merah pemberantasan korupsi bukan sekadar dari sisi hukum saja. Akan tetapi, dibutuhkan kepemimpinan tegas dan cerdas dalam menuntaskan kasus korupsi. Jika pemimpin tegas dan cerdas, penulis yakin korupsi tak akan terjadi, begitu pula sebaliknya. Yang jelas, Indonesia membutuhkan kepemimpinan tegas mulai dari lingkup RT hingga presiden.

Hamidulloh Ibda
Wartawan Citanews.com,
Pengikrar Kaum Muda Antikorupsi,
Direktur Utama LAPMI TUNTAS Semarang, Jawa Tengah

Monday, January 28, 2013

Pahlawan Masyarakat

Kita tidak pernah kehabisan tinta untuk menuliskan tentang apa itu pahlawan, apalagi setahun sekali setiap 10 November kita setia memperingatinya. Kado berharga tahun ini adalah penganugerahan pahlawan nasional kepada dwi tunggal  Soekarno-Hatta.

Sulit untuk tidak mengakui bahwa pahlawan adalah sosok protagonis yang merupakan representasi simbolik dari seseorang yang memiliki pengalaman dari saat membaca, mendengarkan atau menonton peristiwa, sehingga relevansi pahlawan kepada individu kerap bergantung pada seberapa banyak kesamaan yang ada diantara mereka. Salah satu alasan mengapa pahlawan kerap hadir sebagai kisah interpretasi diri dan mitos akibat ketidakmampuan manusia melihat dunia dari sudut pandang apapun melainkan hanya satu pribadi.

Pada adegan dunia modern misalnya, Napoleon adalah pahlawan epik, bukan karena ia semacam dewa, atau tuhan, melainkan menurut Hegel, seorang filsuf Jerman, karena ia menempatkan dirinya di kepala peristiwa, terlibat intens dalam peristiwa, terhubung langsung kepada diri sendiri, dan sejarah diselesaikan olehnya. Akan tetapi faktanya ia juga seorang pahlawan yang tragis dan menyedihkan.

Dalam Ceramah Filsafat Sejarahnya, Hegel menyontohkan bahwa Julius Caesar tewas korban pembunuhan, Alexander Agung meninggal  oleh penaklukan dan Napoleon meninggal saat diasingkan di sebuah pulau. Ia juga menunjukkan bahwa tindakan pahlawan sejarah tidak selalu membawa mereka kepada kehormatan atau rasa syukur dari jamannya.

Mengapa sebagian para pahlawan memiliki takdir yang mengenaskan? Pertama, bisa jadi pahlawan dalam arti sejarah, hanya instrumen yang mutlak. Jika dia hanya instrumen absolut, maka dia hanyalah korban dari keharusan sejarah: Napoleon binasa karena ia hanya memainkan peranan yang unik dan sementara pada adegan sejarah. Kitapun tidak lupa kisah Soekarno salah satu pendiri republik ini yang diakhir hidupnya “diasingkan” oleh rezim Orde Baru.

Kedua, sejarah tidak bisa terulang: keberhasilan pahlawan dalam satuan peristiwa sulit untuk dipercayai keberhasilannya kembali dalam episode yang lain. Pendeknya, pahlawan memang memiliki seribu wajah untuk dituliskan, didefinisikan, dipercakapkan bahkan digugat keberadaannya.

Selain itu kisah pahlawan memang kerap diskriminatif. Ia milik segelintir kelompok elit sejarah. Karenanya sejarah kerap dituliskan untuk “orang-orang besar” melalui tindakan yang besar. Sejarah jarang mengabarkan seorang yang biasa-biasa saja melalui tindakan dan perjuangan yang luar biasa. Yang terakhir ini mulai diadopsi oleh institusi sebagai koreksi atas definisi pahlawan yang baku dan rigid oleh negara.

Joseph Champbell mempunyai definisi tentang pahlawan, yang hampir pasti akan diamini sebagian  orang, “A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself”. Dalam hal ini Joseph Champbell bisa jadi benar, ketika kita merasa hidup di sebuah zaman dimana kepentingan orang lain menjadi catatan nomor kesekian dalam hidup kita. Dan dalam setiap catatan itu, semuanya hampir memusat pada diri kita sendiri.

Agaknya hal ini jugalah yang mengilhami panitia penganugerahan “award” katagori apapun yang terserak di negeri ini untuk mencari sosok yang dianggap dapat mewakili “citra ideal” manusia kelompok, institusi yang makin langka di zaman ini.

Mencari sosok yang tidak genit dengan urusan diri sendiri, apalagi dengan catatan tambahan yang kepeduliannya dianggap melampaui batas rata-rata manusia pada umumnya bukanlah perkara mudah. Masalahnya selama ini kita disuguhkan dengan kebisingan informasi yang memuat keburukan ketimbang kebaikan. Tentang pamrih daripada ketulusan hati, menghargai hasil instan dibanding kerja keras.

Media banyak mengabarkan tentang hal itu secara telanjang.
Jika kita semua hampir jemu meneriakkan rasa muak, geram, dan tak sabar kepada banyak urusan di negeri ini, maka di luar sana ada sekelompok manusia –tanpa teriakkan- bahkan bergumam pun-melakuan sesuatu bagi sekelilingnya tanpa peduli apakah cukup terdengar atau tidak. Tidak peduli apakah akan menarik perhatian orang ramai atau bahkan dukungan. Bagi mereka kerja konkrit sudah masalah tersendiri.

Dalam umur 30-an ini bidan Rosita yang bertugas di Kampung Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, yang berbatasan langsung dengan suku Baduy, mungkin sosok yang cocok dengan katagori Joseph Champbell tadi: seseorang yang telah memberikan hidupnya untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Kita tentu mengenal baik suku Baduy yang memiliki mitologi dan aturan adat yang syarat oleh pantangan. Ketertutupan mereka akan lingkungan luar untuk menjaga adat leluhur mereka, tercermin pula melalui penolakan terhadap pengetahuan kesehatan modern. Wilayah ini meliputi tanah ulayat suku Baduy yang mencapai 5.185 hektare mencakup 59 kampung, terdiri dari 3 kampung Baduy Dalam (Cibeo/Cikesik dan Cikartawanta) dan 56 kampung Baduy luar yang ditempuhnya melalui jalan kaki dengan konstur tanah yang curam. Di sanalah bidan Rosita bekerja.

Pendekatan yang ia lakukan beyond seorang bidan, bak antropolog sejati, ia langsung masuk ke denyut peradaban suku baduy dan belajar mendengarkan mereka dengan sabar. Keuletan, ketulusan, dan kerja kerasnya selama 17 tahun memang tidak sia-sia. Ia meraup kepercayaan dan penerimaaan yang hangat dari masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar. Sesuatu yang tidak mudah untuk didapatkan.
Bahkan Ros satu-satunya bidan yang rekomendasinya diminta oleh suku Baduy Dalam dan Baduy Luar ketika berurusan dengan kesehatan. Bidan yang bersahaja ini tidak pernah  mempersoalkan berapa rupiah imbalan yang diterimanya. Bahkan penghasilan suaminya sebagai guru juga banyak menyokong untuk membeli obatbagi pasiennya.

Selain Bidan Ros, Indonesia juga memiliki Datuak Pirak dari Nagari Bais, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Mantan kepala desa ini berhasil menggerakkan rakyatnya untuk menanam kemiri di lahan-lahan kritis daerahnya. Bahkan hal ini menjadi persyaratan wajib bagi setiap orang yang menikah untuk menanam 25 pohon kemiri. Hal ini berlangsung sejak  tahun 1976 hingga ia tidak menjabat lagi kini.

Keberlangsungan program ini tidak saja menjadikan lahan kritis di daerahnya berganti dengan rimbunnya pohon kemiri, juga kesejahteraan masyarakat jadi meningkat. Bidan Rosita dan Datuak Pirak hanyalah satu sosok di antara banyak sosok yang ingin kita jumpai dan kenali. Persona yang tahu apa arti tanggung jawab kerja, sangat mengerti tentang kebutuhan orang lain, dan paham bahwa  melalui kerja keras dan ketulusan, semuanya dapat diwujudkan.

Para pahlawan masyarakat ini seakan mengingatkan kepada kita semua bahwa “pelayan publik” haruslah memberikan yang terbaik dari yang di milikinya. Agar kerja menjadi begitu bermakna bahwa kerja bukanlah sekadar ritual yang harus dijalankan dengan indikator kewajiban semata. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang akan dihasilkan dari sebuah mesin kewajiban yang sangat teknis mekanistik itu?

Kita lupa ada unsur proses “memanusiakan” jiwa didalamnya. Bidan Ros dan Datuak Pirak menunjukkan kepada kita bahwa proses kerja adalah bagian yang tidak pernah terpisahkan dari unsur  kepedulian, ketulusan, pengabdian, dan ketidakpamrihan. Kita tak terlalu sadar selama ini bahwa tiap proses yang terjadi adalah bagian dari sisi kemanusiaan kita yang terbatas dan tergantung. Kita mungkin perlu risau dengan pandangan yang menjauhkan kita dari proses memanusiakan diri ini, dan  menggugat kepada pelayan publik yang meletakkan kerja sekadar sebagai kewajiban yang harus dijalankan  

Jaleswari Pramodhawardani
Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI

Kondom, Remaja dan Politik

Penyakit menular seksual dapat menular kepada siapa pun juga yang tidak berhati-hati. Tidak peduli yang “alim” maupun yang “mursal”. Yang tua maupun yang muda. Mereka yang “alim” dapat saja rajin ke gereja atau masjid, tetapi ketika godaan datang bisa saja mereka lengah dan mencari kepuasan seksual dengan mereka yang mengidap penyakit. Mereka yang terkena, kemudian memunyai potensi menularkan penyakitnya itu ke orang lain yang semula sehat. Penyakit menular seksual akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas seksual masyarakat.

Penelitian epidemiologis yang serius mengenai penjalaran penyakit menular seksual (PMS) ini di Indonesia belum pernah dilakukan. Seandainya pernah dilakukan, hasilnya tidak pernah diumumkan. Disimpan di arsip fakultas atau kementerian kesehatan, hanya sebagai arsip. Tidak pula digunakan untuk menyusun strategi atau program penanggulangannya.

Mungkin saja Kementerian Kesehatan mempunyai data seperti itu dan berkesimpulan bahwa cara penanggulangan penyebaran PMS yang perlu mendapat perhatian adalah menganjurkan mereka yang kehidupan seksualnya aktif agar memakai kondom, seperti pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi baru-baru ini. Pernyataan yang membuat banyak orang terkejut-kejut.

Beberapa puluh tahun yang lalu ada laporan penelitian dari sebuah institusi kesehatan di Jawa Timur (saya mencoba mencari arsipnya belum ketemu), yang mengungkapkan bahwa lebih dari 30 persen ibu hamil yang memeriksakan diri ke institusi tersebut ternyata menderita infeksi Chlamydia, sejenis penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Dari mana mereka ketularan? Tentu dari suami-suami mereka yang tidak berhati-hati ketika melakukan hubungan seks dengan orang lain yang mengidap penyakit tersebut. Sayangnya, penelitian itu berhenti sebatas penelitian. Tidak diikuti dengan program untuk pengobatan dan pencegahan yang lebih luas.

Kini masalah menjadi lebih mencemaskan dengan adanya HIV yang juga menular, terutama melalui hubungan seks. Berbeda dengan PMS yang lain, infeksi HIV dapat berujung menjadi AIDS yang mematikan. Berbeda dengan PMS yang lain, infeksi HIV tidak menimbulkan gejala yang akan membuat pengidapnya mencari pertolongan dokter. Mereka akan tetap mampu melakukan aktivitas hidup seperti biasa tanpa gangguan atau keluhan. Ini membuat mereka akan berpotensi menularkan ke orang lain. Celakanya lagi, infeksi HIV ini sudah dibebani stigma, seolah-olah hanya para pendosa yang terkena infeksi. Akibatnya mereka yang terinfeksi, seandainya pun tahu, akan  memilih bersembunyi, dan terus menularkan virusnya ke orang lain, termasuk isteri mereka di rumah.

Tetapi mengapa Menteri Kesehatan menganjurkan remaja memakai kondom, sehingga seolah-olah kondom merupakan satu-satunya solusi untuk mencegah PMS? Bukankah itu sama dengan menganjurkan remaja untuk melakukan hubungan seks? Tuduhan ini bernuansa pemelintiran berita. Rasanya tidak mungkin Menteri Nafsiah Mboi yang sudah lama bergelut dengan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan mengatakan begitu. Di seluruh dunia konsep pencegahan infeksi HIV melalui urutan A (abstinence), B (be faithful), C (condom) masih berlaku. Kondom hanya dianjurkan ketika orang tidak dapat memenuhi anjuran A dan B. Bahwa remaja perlu mendapat perhatian juga tidak keliru.

Remaja adalah usia ketika pertumbuhan biologis, termasuk seksualitas, sedang meninggi. Tetapi di sisi lain secara sosial dan psikologis dianggap belum matang. Usia ketika semangat berpetualang mencari pengalaman dan menantang risiko sangat besar. Termasuk dorongan untuk mencari pengalaman dalam hubungan seks. Semua itu mencerminkan pertumbuhan yang normal. Justru menjadi tidak normal jika ada remaja yang tidak mengalami pertumbuhan seperti itu.

Tetapi dorongan untuk berani melakukan hubungan seks bukan terjadi karena ada kondom. Dorongan itu lebih disebabkan oleh khayalan kenikmatan yang “diperkuat” oleh bacaan dan tontonan yang memacu birahi serta adanya peluang. Ada atau tidak ada kondom, mereka akan melakukannya kalau ada peluang, dan peluang itu sekarang semakin bertambah besar akibat perubahan sosial.

Di sisi lain, selama ini rayuan kenikmatan oleh bacaan dan tontonan yang memacu birahi tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang risiko buruk dari hubungan seks. Sehingga seperti juga kita mengajari anak tentang pisau, yang dapat bermanfaat tetapi dapat membahayakan. Dengan mengetahui bahaya penggunaan pisau yang salah, anak-anak kita akan lebih berhati-hati. Pendidikan tentang seksualitas, atau pendidikan kesehatan reproduksi, adalah untuk menjelaskan segi-segi risiko hubungan seks, sehingga mereka dapat memilih secara bertanggung jawab ketika mengalami dorongan untuk melakukan hubungan seks. Tetapi anehnya, pendidikan kesehatan reproduksi inipun ditentang oleh mereka yang “moralis”, tanpa mengetahui apa sebenarnya isi pendidikan tersebut.

Kondom adalah salah satu cara efektif untuk menghindari risiko buruk akibat hubugan seks, bagi mereka yang tidak dapat lagi bertahan pada anjuran A dan B. Seandainya saja semua remaja (dan orang tua juga) bisa bertahan untuk mengikuti anjuran A dan B, anjuran C (kondom) tidak perlu lagi. Dan penjalaran PMS tidak akan terjadi. Bahwa dalam kenyataan PMS, termasuk HIV masih terus bertambah,mengindikasikan bahwa masih banyak orang yang tidak bisa bertahan pada A dan B. Kepada mereka itulah dianjurkan untuk menggunakan kondom.

Kini tokoh-tokoh politik sudah mulai memanfaatkan ungkapan Menteri Kesehatan tentang kondom ini untuk, tentu saja, tujuan politis. Mengecam tetapi tidak memberikan solusi alternatif. Mereka yang “moralis” hanya berpegang pada satu solusi: pendidikan agama. Seolah-olah hanya dengan pendidikan agama, semua akan selesai.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan agama secara teoretis akan mencegah berbagai perilaku maksiat. Bukan hanya perilaku seks tetapi juga korupsi, perampokan, maling, dan sebagainya. Tetapi kenyataan dalam dunia ini tidak seideal itu. Pembuatan kitab suci pun dikorupsi. Lha kalau orang yang mengetahui, dan jelas mendapat, pendidikan agama saja masih korupsi, merampok, atau berperilaklu seksual yang menyimpang, apa pula yang belum setaraf mereka. Sementara itu penyakit menular seksual akan terus merayap menggerogoti pemuda dan keluarga Indonesia. Isteri-isteri di rumah tidak dapat menolak ketika ditulari oleh suaminya.

Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Tuesday, January 1, 2013

Mengintip Keuangan Partai Politik Kita

Oleh : Ully Chintya
Mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya
ullychintya@gmail.com
TOPIK keungan partai, wacana menarik dalam mengkaji transparansi keuangan partai politik dan memetakan isu keuangan partai politik lewat seminar nasional Senin (10/12) silam di Rumah Sakit Pusat Penyakit Tropis Kampus C Unair. Mengangkat tema Mengkaji Keuangan Partai Politik, Mencari Gagasan Alternatif, seminar dihajat mahasiswa program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Unair itu menghadirkan Mendagri Gamawan Fauzi, Idrus Marham (Sekjen Partai Golkar), Ferry M Baldan (DPP Partai Nasdem), Hasto Kristiyanto (Wasekjen DPP PDIP), Ikhsan Modjo (DPP Partai Demokrat). Ada juga Sigit Pamungkas (KPU), Danang Widoyoko (ICW), Sidik Pramono (jurnalis), Ari Dwipayana (UGM), Prof Kacung Marijan (Unair), dan Dwi Windyastuti (Wakil Dekan FISIP Unair).

Secara umum partai politik (parpol) tidak lepas dari yang namanya biaya partai. Namun faktor pembiayaan parpol ini bukan menjadi satu-satunya kekuatan partai. Berbeda dengan negara-negara maju lainnya yang mana letak kekuatannya terletak pada parpol itu sendiri.

Berbicara keuangan partai, ada dua macam keuangan partai, pertama, party finance yaitu keuangan yang dihimpun dan dipergunakan untuk kegiatan parpol. Kedua, campaign finance, keuangan partai yang dihimpun dan digunakan untuk masa kampanye. Kedua penerimaan keuangan partai ini setidaknya harus sebanding dengan besaran dana yang dibutuhkan parpol.

Sumber dari keuangan partai itu diperoleh dari berbagai sumber, yakni iuran anggota, sumbangan, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Sumbangan ini dapat berasal dari perseorangan anggota parpol, perseorangan bukan anggota parpol maksimal Rp 1 milir per tahun, dan perusahaan dan/atau badan usaha maksimal Rp 7,5 miliar per tahun. Sumber lain adalah bantuan APBN/APBD diberikan secara proporsional untuk parpol yang meraih kursi di DPR/DPR berdasar jumlah perolehan suara. Dana ini dipergunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik bagi anggota partai maupun masyarakat juga dan kegiatan operasional partai.

Realitasnya sumber penerimaan parpolk itu tak sekadar dari tiga sumber yang disebutkan di atas tetapi ada juga penerimaan dana lain, salah satunya dari sumbangan dari pengusaha swasta yang berkepentingan, potongan gaji kader di legislative/eksekutif dan masih banyak lagi.

Parpol di Indonesia sekadar fokus pada manajemen keuangan parpol. Hal ini tidak terjadi di parpol-parpol di negara-negara lain. Amerika dan Inggris misalnya, tata kelola parpol berpijak pada platform yang dilandasi kebutuhan utama masyarakat dan apa yang diinginkan masyarakat, bukan berpijak pada tata kelola keuangan parpol. Karena itu perlu kebijakan untuk menyehatkan proses demokrasi melalui berbagai bentuk reformasi pembiayaan partai yang meliputi; reformasi sumber pendanaan partai, reformasi pengelolaankeuangan partaiyang transparan dan akuntabel, dan terakhir reformasi pengeluaran partai.

Kunci dari suksesnya proses demokrasi salah satunya adalah dengan transformasi manajemen keuangan parpol yang lebih baik yang menitikberatkan pada transparansi dan akuntabilitas.